Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp104,2 triliun untuk ketahanan pangan tahun ini. Namun, Ramadan dan Idulfitri bakal menjadi tantangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menyampaikan tema belanja APBN 2023 dialokasikan untuk berbagai bidang pembangunan, seperti kesehatan, ketahanan pangan, infrastruktur, pendidikan, perlindungan sosial (perlinsos), ketahanan energi, hingga pertahanan keamanan.
"Ketahanan pangan ini menjadi sangat penting, tahun ini Rp104,2 triliun," katanya dalam Executive Forum Media Indonesia yang tayang secara virtual, Kamis (9/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alokasi anggaran untuk ketahanan pangan tersebut terbagi ke dalam Rp81,7 triliun belanja pemerintah pusat (BPP) dan Rp22,5 triliun transfer ke daerah (TKD). Di lain sisi, Febrio menyinggung soal ancaman inflasi menjelang Ramadan dan Idulfitri.
"Inflasi menjadi tantangan jangka pendek. Memang ada tantangan menjelang Ramadan dan Idulfitri, harus kita pastikan inflasi bahan makanan dengan segala kolaborasi pemerintah pusat dan daerah sehingga inflasi hingga akhir tahun kita harapkan menuju di bawah 4 persen," jelasnya.
Meski begitu, anggaran ketahanan pangan masih lebih kecil ketimbang bidang lain, seperti pertahanan keamanan yang menerima Rp316,9 triliun, ketahanan energi Rp341,3 triliun, infrastruktur Rp392,1 triliun, perlinsos Rp476 triliun, hingga pendidikan sebesar Rp612,2 triliun. Sementara itu, anggaran untuk sektor kesehatan sebesar Rp178,7 triliun.
Di lain sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mewanti-wanti inflasi yang berpotensi melonjak pada Ramadan dan Idulfitri. BPS mengingatkan di momen tersebut harga komoditas berpotensi naik, termasuk minyak goreng hingga daging ayam.
"Berdasarkan tren beberapa tahun terakhir, terlihat inflasi pada Ramadan perlu dikelola dengan mengendalikan harga-harga komoditas yang kemungkinan akan dominan mendorong inflasi, di antaranya bahan bakar rumah tangga, minyak goreng, daging ayam ras, dan beberapa komoditas lainnya," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Rabu (1/3).
Pudji merefleksi pada data inflasi Ramadan pada empat tahun terakhir. Ia menjelaskan pada 2019 bulan puasa jatuh pada Mei dengan tingkat inflasi 0,68 persen.
Penyebab utama inflasi saat itu adalah kenaikan harga komoditas cabai merah, daging ayam ras, bawang putih, ikan segar, angkutan antarkota, dan telur ayam ras.
Kemudian, Ramadan 2020 jatuh pada April dengan besaran inflasi mencapai 0,08 persen. Faktor utama pendorong inflasi saat itu, antara lain kenaikan harga komoditas bawang merah, emas perhiasan, gula pasir, bahan bakar rumah tangga, pepaya, dan rokok kretek filter.
Sementara itu, Ramadan 2021 jatuh pada April dengan inflasi menyentuh 0,13 persen. Inflasi pada saat itu didorong kenaikan harga daging ayam ras, minyak goreng, jeruk, bahan bakar rumah tangga, emas perhiasan, dan anggur.
"Kemudian pada Ramadan April tahun lalu terjadi inflasi 0,95 persen yang utamanya didorong kenaikan harga komoditas minyak goreng, bensin, daging ayam ras, tarif angkatan udara, bahan bakar rumah tangga, dan telur ayam ras," jelasnya.
BPS mencatat inflasi Februari 2023 sebesar 5,47 persen (year on year/yoy). Sedangkan inflasi bulanan terealisasi sebesar 0,16 persen. Inflasi terjadi karena kenaikan berbagai harga bahan pokok hingga biaya transportasi di Tanah Air.
Penyumbang inflasi tahunan terbesar terjadi pada kelompok transportasi sebesar 13,59 persen dengan andil 1,63 persen. Sedangkan penyumbang kedua terbesar inflasi tahunan Februari 2023 adalah makanan, minuman, dan tembakau sebesar 7,23 persen dengan andil inflasi 1,87 persen.