Draf akhir Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menghapus kewajiban alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara (APBN).
Di UU Kesehatan saat ini, kewajiban bagi pemerintah mengalokasikan anggaran 5 persen untuk kesehatan tersebut tercantum dalam Pasal 171 (1) Bab Pembiayaan Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bunyinya; "Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar lima persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji."
Selain itu, draf ruu baru ini juga menghapus kewajiban pemerintah daerah mengalokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji seperti yang tertuang dalam Pasal 171 (2) UU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai draf final RUU Kesehatan, pemerintah masih mengatur soal pendanaan kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab menyediakan dana yang dimanfaatkan untuk kegiatan upaya kesehatan, penanggulangan bencana, hingga program kesehatan strategis lainnya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional di sektor kesehatan.
Namun, besaran alokasi pendanaan tak ditentukan minimalnya.
Sesuai Pasal 409 (1) draf akhir itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memprioritaskan anggaran kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBN.
Mengacu Pasal 409 (3), pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Sementara, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBD sesuai dengan kebutuhan kesehatan daerah yang mengacu pada program kesehatan nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
"Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan kesehatan, pemerintah pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada pemerintah daerah sesuai dengan capaian kinerja program dan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat," tulis Pasal 400 (1) draf RUU Kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengungkapkan kewajiban alokasi minimal anggaran kesehatan harus dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5 persen untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas.
"Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya komitmen spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan," ujar Budi di Gedung DPR, dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (19/6) lalu.
Namun, keinginan itu ditolak Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka meminta agar pengeluaran negara yang wajib dialokasikan pada proporsi tertentu harus tetap ada dalam UU Kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR dari fraksi Demokrat Aliyah Mustika Ilham mengatakan fraksinya terus memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan sebagai bentuk konkret keberpihakan terhadap kesehatan rakyat. Ia menyebut Partai Demokrat telah mengusulkan dalam rapat panja bahwa mandatory spending justru harus ditingkatkan dari 5 persen.
"Namun tidak disetujui dan pemerintah lebih memilih mandatory spending dihapuskan. Ini menunjukkan kurangnya komitmen negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata, dan berkeadilan," katanya dalam Rapat Kerja dengan pemerintah terkait RUU Kesehatan, Senin (19/6).
Atas dasar dihapuskannya mandatory spending dan faktor lainnya, Partai Demokrat menolak RUU Kesehatan dibahas lebih lanjut.
"Fraksi Demokrat menolak RUU Kesehatan diteruskan menjadi UU pada pembicaraan tingkat satu," kata Aliyah.
Penolakan terhadap rencana dihapuskannya mandatory spending juga disampaikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS Netty Prasetyani menilai tidak dimasukkannya mandatory spending dalam RUU Kesehatan merupakan kemunduran bagi kesehatan masyarakat.
"Fraksi PKS berpendapat bahwa mandatory spending adalah bagian paling penting dalam UU ini karena semua hal yang ditulis dalam UU ini sangat tergantung pada kesediaan dana untuk pelaksanaannya," kata Netty.
Maka dari itu, PKS menolak RUU Kesehatan dibawa ke rapat paripurna.
(sfr/agt)