Faisal Basri Ungkap Keliru Data Jokowi soal Untung Hilirisasi Nikel

CNN Indonesia
Jumat, 11 Agu 2023 19:15 WIB
Ekonom Senior Faisal Basri menegaskan keuntungan hilirisasi nikel yang diperoleh Indonesia dari hitung-hitungan Jokowi menyesatkan.
Ekonom Senior Faisal Basri menegaskan keuntungan hilirisasi nikel yang diperoleh Indonesia dari hitung-hitungan Jokowi menyesatkan. ( Andika Wahyu).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom Senior Faisal Basri menegaskan keuntungan hilirisasi nikel yang diperoleh Indonesia dari hitung-hitungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak benar.

Bahkan ia menyebut data yang disampaikan Jokowi itu fakta yang menyesatkan. Fakta itu terkait pernyataan Jokowi yang menyebutkan bahwa Indonesia untung besar karena kebijakan hilirisasi nikel karena nilai ekspor yang diperoleh naik dari Rp17 triliun menjadi Rp510 triliun.

Menurut Faisal, angka-angka yang disampaikan Jokowi tersebut tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Ia menilai presiden hanya ingin meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi yang dilakukan menguntungkan Indonesia bukan China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bapak presiden, maaf kalau saya katakan bahwa bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," ujar Faisal melalui blog pribadinya, Jumat (11/8).

Faisal mengungkapkan berdasarkan data BPS, pada 2022, nilai ekspor besi dan baja yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi hanya sebesar US$27,8 miliar atau Rp413,9 triliun (asumsi kurs Rp14.876 per dolar AS pada 2022 lalu).

Meski ada perbedaan hitungan, Faisal mengakui memang ada lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi nikel hingga 414 kali. Namun, semua uang tersebut tidak mengalir ke Indonesia melainkan ke China hampir 90 persennya.

Pasalnya, hampir semua perusahaan smelter pengolahan bijih nikel di Indonesia 100 persen dimiliki oleh China. Ia mengatakan dengan rezim devisa bebas yang dianut Indonesia saat ini, maka otomatis pengusaha China membawa semua hasil ekspornya ke negerinya sendiri.

"Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," kata Faisal.

Selain itu, Indonesia juga memberikan insentif tax holiday bagi perusahaan nikel selama 20 tahun. Dengan insentif itu, Faisal menyebut tak ada penerimaan yang mengalir ke negara dari laba luar biasa yang dinikmati pengusaha China dalam mengeruk nikel Indonesia tersebut.

Tak hanya itu, perusahaan China ini juga ia sebut tidak membayar royalti sama sekali.

"Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," imbuhnya.

Faisal menekankan bukan berarti ia tak mendukung kebijakan hilirisasi yang dilakukan pemerintah. Ia hanya menolak aturan tersebut jika dilakukan seperti saat ini.

"Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen," pungkasnya.

Presiden Jokowi merespons tudingan soal hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menguntungkan China yang dituduhkan Faisal Basri.

Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar. Dia malah mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan itu.

[Gambas:Video CNN]

"Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun," katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).

Jokowi menambahkan dari angka itu saja jelas; negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel yang dilakukan.

"Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?" katanya.

(ldy/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER