Platform dagang elektronik, Tokopedia, mengaku tak masalah atas rencana pemerintah yang akan melarang penjualan barang impor di bawah US$100 atau setara dengan Rp1,5 juta.
Larangan tersebut merupakan salah satu poin yang akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Wakil Direktur Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Tokopedia Hilmi Adrianto mengatakan hingga kini, pihaknya masih mempelajari dan terus berkoordinasi dengan pihak internal, pemerintah dan berbagai pihak terkait peraturan tersebut, serta dampaknya pada bisnis Tokopedia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tokopedia adalah 100 persen marketplace domestik yang tidak memungkinkan adanya impor langsung (cross-border) di dalam platform. Penjual di Tokopedia, yang sekarang berjumlah lebih dari 14 juta dan hampir 100 persen pelaku UMKM dan berdomisili di Indonesia," kata Hilmi kepada CNNIndonesia.com, Senin (26/9).
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) bakal menerbitkan aturan tentang perdagangan online di Indonesia.
Aturan tersebut akan termaktub dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Dalam revisi permendag tersebut, akan ada enam poin yang akan diatur.
Pertama, pemerintah akan melarang social commerce untuk berjualan atau bertransaksi. Menurut Zulhas, social commerce hanya boleh melakukan promosi.
Zulhas memang tidak menyebut secara rinci siapa yang akan terkena atau terdampak oleh aturan itu. Tapi yang pasti, saat ini platform social commerce yang belakangan ini mengemuka melakukan transaksi dan penjualan adalah TikTok Shop.
Kedua, pemerintah akan memisahkan social commerce dengan e-commerce. Artinya, tidak boleh ada platform seperti TikTok yang menjadi sosial media dan e-commerce secara bersamaan.
Menurut Zulhas, jika social commerce dan e-commerce disatukan, pihak platform sangat diuntungkan. Pasalnya, ia mengantongi algoritma pengguna yang bisa digunakan untuk mengatur iklan kepada yang bersangkutan.
Ketiga, pemerintah juga akan mengatur barang impor apa saja yang boleh dijual di dalam negeri.
"Produk-produk yang dari luar nih, kita sebut dulu negative list, sekarang kita sebut positive list. Yang boleh-boleh. Kalau dulu negative list, semua boleh kecuali. Kalau sekarang yang boleh, yang lainnya enggak boleh. Misalnya batik. Di sini banyak kok. Kira-kira seperti itu," imbuh Zulhas.
Keempat, pemerintah juga akan memperlakukan barang impor sama dengan barang dari dalam negeri. Dengan kata lain, ketentuan penjualan barang impor akan setara dengan barang buatan lokal. "Kalau makanan harus ada sertifikat halal, kalau beauty (produk kecantikan) harus ada (izin) BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)-nya," jelasnya.
Kelima, pemerintah akan melarang sebuah platform social commerce dan e-commerce menjadi produsen. Dengan kata lain, platform tersebut dilarang menjual barang produksi mereka sendiri.
Keenam, pemerintah akan membatasi produk impor yang bisa dijual di e-commerce hanya boleh di atas harga US$100.