Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno ikut bersuara soal spa di Bali yang kini kena pajak 40 persen.
"Kami akan berkoordinasi untuk terus mendorong industri spa di Bali agar semakin berkembang," kata Sandi dalam keterangan resmi, Rabu (10/1).
Menurutnya, spa seharusnya tidak masuk dalam kelompok hiburan. Dengan begitu, spa di Bali dan wilayah Indonesia lainnya tak bisa dipajaki 40 persen-75 persen, seperti tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2021, usaha spa didefinisikan sebagai perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan atau minuman sehat, dan olah aktivitas fisik.
Menurut beleid itu, spa bertujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi serta budaya bangsa Indonesia.
"Sehingga industri spa di Bali adalah bagian dari wellness, bukan hiburan. Mereka ini mendapatkan kebugaran dan kebugarannya itu menggunakan rempah-rempah dan minyak yang diproduksi dengan kearifan budaya lokal setempat," tegasnya.
Ia lantas menceritakan lawatannya ke Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) beberapa waktu lalu. Sandi mengatakan terapis spa asal Indonesia cukup dikenal dan diminati pasar internasional karena reputasinya baik.
Di lain sisi, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan masuknya spa ke dalam kategori hiburan bisa mempengaruhi persepsi publik. Anggapan spa hanya sebagai tempat hiburan diklaim bakal mempengaruhi citra profesional para terapis.
Lihat Juga : |
"Jika spa tidak diintegrasikan secara bijak dengan budaya lokal ada risiko komodifikasi budaya dimana spa akan dianggap sebagai atraksi tanpa menghargai makna dari konteks yang sebenarnya," jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya memprotes tarif pajak baru itu. Ia mengaku Bali sebelumnya hanya memungut 15 persen untuk kegiatan spa.
Perubahan ini muncul usai lahirnya UU HKPD. Beleid baru itu memunculkan batas bawah 40 persen yang sebelumnya tak diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
"Kebijakannya akan membunuh usaha spa. Spa dengan hiburan harus dibedakan. Kalau hiburan dan karaoke, mereka jual minuman dan segala macam atau diskotek, itu beda," kata Suryawijaya saat dihubungi, Senin (8/1).
"Spa ini kebugaran atau wellness kalau di Bali. Jadi itu berbeda, jangan disamakan. Ini kan kebugaran karena kita ingin mereka (wisatawan) ke Bali, dia bisa menyegarkan melakukan terapis spa ini. Jadi beda," tandasnya.
Terpisah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menegaskan UU HKPD sudah mempertimbangkan pendapat sejumlah pihak terkait. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana menyebut batas bawah pajak hiburan dipatok demi membantu masyarakat kurang mampu.