Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian di bidang penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida atau carbon capture storage (CCS). Singapura menjadi negara pertama yang menandatangani perjanjian di bidang tersebut dengan Indonesia.
Keputusan itu menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, yang mengizinkan operator CCS mengalokasikan 30 persen kapasitas penyimpanan mereka untuk penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri.
Melansir Reuters, Kamis (15/2), Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan Indonesia dan Singapura akan akan membentuk kelompok kerja untuk mengupayakan perjanjian bilateral yang mengikat secara hukum mengenai transportasi lintas batas dan penyimpanan CO2 antara negara-negara tetangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Garis besar kesepakatan tersebut menandai tonggak penting dalam upaya kami menuju pembangunan berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan hidup," kata Jodi.
Melansir situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).
Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial. Sedangkan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG, LNG).
Sementara itu, penyimpanan dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.