Sorotan Ekonom Asing terhadap Program Makan Siang Gratis ala Prabowo
Ekonom asing menilai program makan siang gratis ala paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming meningkatkan risiko fiskal dan ketidakpastian di Indonesia.
Program ini diperkirakan menelan anggaran Rp120 triliun di tahun pertama, sebelum meningkat menjadi Rp450 triliun per tahun hingga 2029. Imbasnya, pemerintah memproyeksi defisit anggaran melebar dari proyeksi tahun ini, 2,29 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDP), menjadi 2,8 persen dari PDB pada 2025.
Melansir Bloomberg, Fitch Ratings memperingatkan risiko fiskal jangka menengah meningkat di Indonesia.
Sementara, Ekonom Nomura Holdings Inc. Euben Paracuelles menilai kebijakan populis itu hanya akan memiliki dampak pertumbuhan sementara. Ia pun menilai anggaran lebih baik dialokasikan untuk program produktif dan infrastruktur.
"Pemerintah baru ini akan menemukan tantangan untuk mundur dari tindakan populis yang didorong dalam kampanye yang sengit," ujar Pracuelles di Singapura.
Selain itu, rupiah telah merosot 0,1 persen terhadap dolar sejak pemilihan 14 Februari kemarin.
"Skema-skema ini tentu menambah risiko fiskal, namun, kekhawatiran yang lebih besar bagi kami adalah ketidakpastian politik terkait," kata Kepala Utang Pasar Berkembang Aviva Investors Global Services Ltd. Liam Spillane di London.
Ekonom luar menilai pemimpin Asia Tenggara semakin beralih ke pemberian hadiah untuk meraih dukungan di antara rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah yang tertinggal dalam pemulihan ekonomi usai Covid-19.
Di tengah tabungan yang menipis dan inflasi yang lengket, biaya hidup dan bantuan sosial menjadi masalah pemilih utama, bahkan di negara-negara kaya seperti Singapura.
"Program seperti ini sulit untuk dipertahankan. Anda tidak bisa terus-menerus mensubsidi konsumsi," ujar Ekonom Senior Natixis SATrinh Nguyen.
Untuk menghindari mencapai batas utang yang diperbolehkan oleh undang-undang, kubu calon presiden Prabowo melontarkan ide untuk menyempurnakan subsidi pada solar dan gas.
Namun, sejumlah ekonom Bloomberg lebih khawatir terhadap rancangan program bantuan tunai 10.000 baht (Rp4.376.162,7 dengan kurs 437,62 per baht) milik Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dibandingkan program makan siang gratis Prabowo.
Program bantuan tunai itu berupaya mendorong belanja konsumen dan menggairahkan ekonomi dari jalur pertumbuhan di bawah 2 persen.
Program ini dinilai para ekonom lebih mengkhawatirkan karena uang bantuan bersumber seluruhnya dari utang dan prediksi kurangnya hasil yang signifikan.
"Bantuan dompet digital Thailand adalah yang paling mengkhawatirkan, karena pemerintah telah menjelaskan bahwa ini akan sepenuhnya dibiayai oleh utang," kata Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson.
"Ini juga hanya akan menjadi dorongan kosmetik jangka pendek untuk pertumbuhan. Tidak ada manfaat produktif atau struktural jangka panjang bagi ekonomi," lanjutnya.
Investor dan pemberi peringkat kredit khawatir karena program ini bisa memicu inflasi, membalikkan kemajuan fiskal sejak pandemi.
Partai oposisi, ekonom, dan bank sentral Thailand menentang program tersebut, mengatakan bantuan yang ditargetkan untuk yang paling membutuhkan akan lebih murah dan lebih efektif.
Menurut Moody's Investors Service dan S&P Global Ratings, program ini akan mengakibatkan peningkatan berkelanjutan utang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Thailand.
Kurs Bath yang jatuh sekitar 6 persen terhadap dolar sejak pemilihan Mei tahun lalu juga membuat keadaan semakin buruk.
Investor sendiri masih mencermati perkembangan rencana program makan gratis di Indonesia dan bantuan tunai di Thailand dengan pasar keuangan global jual bersih US$928 juta atau sekitar Rp14,5 triliun (asumsi kurs Rp15.700 per dolar AS) atas obligasi pemerintah kedua negara tahun ini.