Mimpi Muluk di Siang Bolong dan Target Usang Energi Terbarukan 2025

CNN Indonesia
Selasa, 04 Jun 2024 13:53 WIB
Target 23 persen pemerintah menggunakan EBT diturunkan jadi 17 persen di 2025, namun target ini diperkirakan masih sulit dicapai. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Target penggunaan energi baru terbarukan (EBT) pemerintah diturunkan dari semula 23 persen di 2025 jadi hanya 17 persen. Sudah diturunkan namun angka ini pun diramal tetap sulit dicapai.

Lembaga analisis kebijakan energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dalam laporannya menggarisbawahi kelambatan pemerintah untuk fokus memanfaatkan potensi energi terbarukan, khususnya tenaga surya dan angin.

Akibatnya ketergantungan energi fosil terutama batubara untuk penggerak pembangkit listrik tak bisa dihindarkan. Jika EBT mulai digenjot sekarang pun, target 23 persen baru bisa dicapai pada 2030.

"Dengan mulai menghentikan penggunaan PLTU lama secara bertahap dan berfokus pada pemanfaatan energi surya dan angin, pemerintah dapat mencapai target bauran energi terbarukan pada tahun 2030. Gerakan ini juga dapat menjadi lompatan besar bagi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan," demikian isi laporan IEEFA.

Dorongan agar fokus pada pemanfaatan energi matahari dan angin didasarkan pada hitungan biaya produksi yang dianggap sangat kompetitif. Analis IEEA Mutya Yustika mengatakan tidak lama lagi biaya listrik dari batubara justru akan lebih mahal dibanding energi terbarukan.

"LCOE (levelized Cost of Electricity) energi surya dan angin turun jauh karena proyek besar-besaran di seluruh dunia. ... LCOE energi surya sekitar 4,78 cUSD/kWh, sementara angin 4,77 cUSD/kWh, malah lebih rendah 1,7 cUSD/kWh dibanding batubara. Tahun 2030 dan seterusnya bakal lebih murah lagi. Apalagi kalau memperhitungkan biaya operasional PLTU yang lebih tinggi akibat fluktuasi harga batubara."

LCOE adalah harga jual listrik agar titik impas tercapai pada akhir masa pakai pembangkitnya. Metrik ini digunakan untuk mengevaluasi biaya listrik yang dihasilkan oleh generator, dan dihitung dengan membagi total biaya tahunan sistem dengan total beban listrik yang dilayani.

Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiyani mengakui pengembangan EBT di Indonesia masih jauh dari target. Eniya yang baru dilantik Februari lalu mengatakan pandemi banyak menghambat rencana strategis pengembangan listrik dari EBT.

"Saya sangat aware ada anggapan ini impossible. Saya juga sadar bahwa waktu (untuk mengejar target) tinggal 1,5 tahun. Sekarang fokus kita adalah menaikkan investasi untuk proyek EBT," kata Eniya saat dihubungi CNN Indonesia.

Saat dihajar pandemi lebih dari dua tahun, konsumsi listrik berkurang sehingga persediaan domestik berlebih. Akibatnya rencana proyek dari sektor EBT tak banyak dikembangkan PLN. Setelah pandemi lewat, Eniya optimistis proyek EBT bisa digenjot.

"Pasca Covid konsumsi listrik akan tumbuh (kembali) karena industri sedang semangat tumbuh. Sehingga 1-2 tahun ini kebutuhan Jawa-Bali juga pasti tumbuh, isu oversupply akan terkikis lah. Di wilayah Sumbar malah sudah defisit. Di Sulawesi juga naik konsumsinya karena banyak smelter untuk nikel," kata profesor bidang rekayasa sel bahan bakar ramah lingkungan ini.

Pemerintah merencanakan beberapa perubahan kebijakan termasuk mencabut kewajiban pemakaian komponen dalam negeri untuk PLTS Atap untuk menggenjot investasi. PLN juga akan menaikkan penerimaan kuota PLTS Atap untuk tujuan yang sama.

(dsf/sur)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK