Balada Kelas Menengah dan Intaian Bahaya yang Mulai Hantui Ekonomi RI
Dezan (28) geleng-geleng kepala sambil sesekali menggaruknya tatkala mengecek nilai uang tabungan miliknya.
Perasaan getir menggelayuti pikirannya karena sadar tabungannya cukup tipis. Bagaimana tidak, tabungan Dezan hanya Rp5 juta.
Padahal, ia sudah bekerja di Jakarta lebih dari enam tahun lamanya. Berharap keliru, ia kembali mengeceknya sekali lagi. Tapi, semua tak berubah.
Nilai tabungannya memang cuma senilai sebulan upah minimum provinsi DKI Jakarta.
Ia menghela nafas. Kemudian sadar; uang tabungan acap kali terpakai karena kebutuhan setiap bulan. Menyadari hal itu, ia sedikit terkekeh.
"Iya itu dia mantab! (makan tabungan). Kenapa kepakai? Karena keperluannya lebih banyak dari pada pendapatan," ucap Dezan saat ditemui CNNIndonesia.com, Senin (29/7).
Dezan sebenarnya merupakan pegawai swasta dengan gaji per bulan sekitar Rp7 juta. Namun, pegeluarannya kerap melebih upahnya.
Setelah meneguk es teh tawar, ia merinci pengeluarannya. Terbesar adalah untuk biaya makan.
"Nah ini yang sebenarnya serba salah karena pengeluaran paling besar dan susah dikontrol. Apalagi belinya online, bisa sampai di atas Rp2 juta per bulan," tutur Dezan.
Lalu, bayar kosan sebesar Rp1,3 juta per bulan. Lalu, biaya transportasi (BBM) Rp200 ribu per bulan, internet Rp150 ribu, dan service motor Rp150 ribu.
Selain itu, Dezan juga berkewajiban menyetorkan uang senilai Rp1,5 juta untuk keluarganya di kampung halaman. Uang itu dimaksudkan untuk patungan menyicil rumah di sana.
Pria berkacamata itu sebenarnya ingin sekali bisa menyicil rumah sendiri. Tapi, ia harus mengubur harapan itu. Menurutnya, itu tak realistis dengan pendapatan dan kebutuhan per bulan.
"Nah ini kalau nyicil sendiri gak mungkin menutup. Karena sekarang nyicil rumah di Rp5 juta per bulan. Dengan biaya makan dan kostan sudah gak cukup. Tapi untuk saya pribadi ini jadinya sistemnya sama keluarga, jadi patungan per bulan," kata dia menjelaskan.
Jika dihitung pengeluaran Dezan tadi sudah hampir Rp5,5 juta. Artinya uang yang ia miliki tersisa sekitar Rp1,5 juta. Ia biasanya mengalokasikan sebagian uang itu untuk menabung dan investasi serta kebutuhan entertainment, seperti membeli pakaian atau sesekali menonton konser.
Namun, seperti yang ia ingat sebelumnya. Uang tabungannya malah kerap terpakai untuk kebutuhan darurat lain. Pria asal Bandung itu mencontohkan harus mengambil uang tabungan untuk biaya pulang kampung.
Sementara, saat pulang kampung ia juga biasanya memberikan sebagian uang tersisa untuk orang tua. Belum lagi, ia harus tetap membayar listrik kostan di Jakarta dan patungan bayar listrik rumah di kampung halaman.
Untuk menyiasati boncos di akhir bulan, Dezan biasanya menurunkan porsi untuk makan ataupun kebutuhan entertainment.
"Saat ini yang bisa ditekan sebenarnya dari makanan dan entertainment. Cuma balik lagi, kalau dia gak sanggup, akhirnya kalau dia tekor di bulan itu, mengambil lagi dari tabungan," tutur Dezan.
"Kalau tabungan juga sudah keambil, di bulan ini sampai minus, baru pinjam ke saudara atau teman," imbuhnya.
Dezan terkadang sedih. Apa yang lakoni selama bekerja, hasilnya hanya mampu untuk bertahan hidup. Ia tak bisa memiliki aset, tabungan bernilai besar, apalagi membeli rumah.
Kalaupun memaksakan mencicil rumah, ia menilai harus siap makan sedikit. Itupun hanya mampu untuk mencicil rumah yang lokasinya jauh dari tempat kerja dan belum termasuk bunga cicilannya tinggi.
Karenanya, Dezan masih belum terpikir untuk bisa menikah. Padahal, teman-teman sebayanya banyak yang sudah berkeluarga.
Ia merasa khawatir tak mampu membiayai keluarganya kelak. Apalagi, biaya hidup layak di Jakarta jauh lebih tinggi dari gaji pokoknya.
Berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan biaya hidup Jakarta mencapai Rp14,88 juta per bulan. Angka ini menempatkan DKI Jakarta sebagai kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia.
"Jadi kalau untuk menikah masih ngeri-ngeri sedap," keluhnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh kelas menengah lain bernama Rizal (25), bukan nama sebenarnya. Ia juga kerap makan tabungan untuk bertahan hidup.
Saking seringnya makan tabungan, uang yang terkumpul saat ini tak sampai Rp1 juta. Padahal, pegawai swasta itu sudah bekerja di Jakarta lebih dari dua tahun.
Dalam waktu tertentu, jika tabungannya habis. Rizal terpaksa meminjam uang kepada kerabat.
"Kalau ada yang tak terduga akhirnya gali lubang tutup lubang. Meminjam ke teman dulu, pas gajian langsung ganti dan itu pun jaraknya dari meminjam ke bayar paling lama lima hari," kata Rizal.
Lihat Juga : |
"Jadi lima hari sebelum gajian meminjam ke teman dan nominalnya saya batasi, maksimal Rp150 ribu biar gak jadi beban lebih," katanya.
Rizal bekerja sebagai pegawai kontrak di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Di sana, ia hanya digaji senilai UMR Jakarta yang sekitar Rp5,06 juta per bulan.
Pendapatan itu, sangat pas-pasan dan seringnya kurang untuk menutupi kebutuhan setiap bulan. Pendapatannya juga tak bisa ia nikmati sendiri. Rizal masih harus membantu keuangan orang tua.
Rizal pun bukan tak mau berusaha mencari pendapatan lain. Ia sudah beberapa kali mencoba mencari part time, seperti pramusaji di coffee shop hingga menjadi copywriter.
Namun, upaya itu masih terbentur dengan waktu kerja di kantornya. Tak hanya itu, persaingan mencari kerja sambilan itu pun tak gampang.
"(Jadi kelas menengah) stuck saja gak ada kemajuan. Cuma bisa bertahan hidup saja, gak ada buat masa depan. Gak punya aset juga," keluh Rizal.
Lihat Juga : |