Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) menyebut biaya kesehatan di Indonesia jauh lebih mahal dari Malaysia dan negara lain.
BGS menyebut pertumbuhan belanja kesehatan selalu tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Saat ini, sistem kesehatan Indonesia menghabiskan Rp614 triliun setiap tahun.
Dia mewanti-wanti bahaya mahalnya biaya kesehatan ini di masa depan. BGS mengibaratkan kondisi ini seperti sama dengan ketika seseorang terus menaikkan pengeluarannya 10 persen setiap tahun tapi pendapatannya hanya naik 5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun mengungkap beberapa biang keladi biaya kesehatan Indonesia bisa sangat tinggi. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya transparansi dalam sistem pembiayaan layanan medis.
Lihat Juga : |
BGS menyinggung harga layanan dan obat-obatan di rumah sakit bisa bervariasi secara drastis, bahkan mencapai ratusan persen lebih tinggi dibandingkan negara lain.
"Layanan kesehatan itu inflasinya tinggi karena informasinya tidak simetris. Misalnya, biaya sunat di pusat kesehatan swasta Rp500 ribu, kalau di RSUD bisa Rp1 juta, di rumah sakit swasta besar bisa Rp5 juta. Harga bisa naik 100 persen hingga 1.000 persen," ucap BGS dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (11/2).
Selain itu, harga obat di Indonesia bisa 300-400 persen lebih tinggi dari Malaysia. Hal ini terjadi karena informasi yang tidak seimbang antara pasien dan penyedia layanan kesehatan seperti dokter, rumah sakit, dan farmasi.
"Misalnya usus buntu, kenapa harus CT scan? Kenapa obatnya harus enam jenis, padahal di Malaysia hanya dua? Ini yang menyebabkan inflasi kesehatan tinggi di seluruh dunia," tambahnya.
Riset tahunan Mercer Marsh Benefits (MMB) mengungkap inflasi biaya kesehatan menjadi tren global. Rata-rata peningkatan biaya kesehatan terus naik dari 2019 sebesar 9,7 persen hingga 2024 sebesar 11,7 persen. Nah, inflasi biaya kesehatan Indonesia lebih tinggi dari rata-rata global, yakni 13 persen di 2024.
Pada 2025, riset MMB mencatat Asia sebagai wilayah dengan inflasi biaya kesehatan terbesar, mencapai 13 persen.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ede Darmawan menyebut ada sejumlah penyebab biaya Indonesia lebih mahal dari negara lain. Pertama, ketergantungan impor. Sebagian besar bahan baku pembuatan obat masih dibeli dari negara lain. Begitu juga alat-alat kesehatannya.
"Apalagi di saat misalnya gejolak ekonomi yang begitu cepat, lalu (fluktuasi) nilai tukar, padahal sebagian besar obat kita itu impor," kata Ede saat dihubungi Kamis (14/2).
Selain itu, dia menyebut ada faktor penentuan biaya kesehatan yang tidak transparan oleh penyelenggara layanan. Ongkos berobat ini bisa ditekan bila para penyedia jasa layanan kesehatan membuka hal itu. Ede mengimbau pemerintah harus mendorong transparansi ini ke penyedia layanan.
Ede menilai pemerintah berperan penting menangkal tingginya inflasi biaya kesehatan. Misalnya, melalui mengintervensi dengan mengoptimalkan BPJS Kesehatan untuk meringankan ongkos yang dibayar masyarakat. Pemerintah juga bisa menekan biaya ini dengan menyediakan lebih banyak RS milik pemerintah.
"Negara itu kan perannya ketika belum ada layanan kan menyediakan layanan. Ketika masyarakat sudah mampu, termasuk dunia usaha mampu menyediakan layanan, maka negara berpindah peran menjadi pengatur," imbuhnya.
Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda menilai inflasi biaya kesehatan dipicu pajak-pajak yang dipungut pemerintah. Mayoritas alat kesehatan dan bahan baku obat masih impor. Akibatnya, biaya produksi dan harga jual meningkat seiring fluktuasi nilai tukar dan bea masuk.
"Selain itu, tidak adanya keseragaman panduan standard of care tiap faskes, terutama yang di luar milik pemerintah, membuat tata laksana dan penggunaan obat dan alat kesehatan menjadi berbeda-beda," ujar Olivia.
Dia melihat perlu strategi jangka panjang untuk menekan inflasi biaya kesehatan. Pemerintah perlu memastikan kapasitas produksi obat dan alkes dalam negeri, investasi yang cukup ke sistem kesehatan secara menyeluruh, serta menyetarakan panduan klinis.
Pemerintah juga harus membangun mekanisme asesmen teknologi kesehatan yang baku, penghapusan pajak terhadap hal-hal berkaitan dengan kesehatan, hingga mekanisme subsidi lainnya.
Namun, Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (Inahea) Hasbullah Tabrany justru menilai tak ada inflasi biaya kesehatan di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengikuti jaminan kesehatan BPJS Kesehatan.
"BPJS tarifnya ditentukan pemerintah, dari 2016 ke 2023 tidak naik iya kan? Ya enggak ada inflasi, itu berarti deflasi," ucap Hasbullah.
Dia mengatakan kelompok yang terdampak kenaikan biaya kesehatan hanya peserta asuransi komersial. Jumlahnya tak lebih dari 4 persen penduduk.
Hasbullah juga menyadari belanja kesehatan Indonesia mencapai Rp614 triliun. Meski angkanya besar, tetapi jumlah itu belum cukup untuk memastikan semua penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan bermutu.
"Masih terlalu sedikit Rp600 triliunan dibanding PDB Rp23 ribu triliun, kecil sekali, tak sampai 4 persen. Negara maju 10-12 persen, negara berkembang lainnya 5-6 persen," kata Hasbullah.
(pta)