Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menepis tuduhan Shell Indonesia bahwa keterlambatan izin impor menjadi penyebab kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang sempat terjadi beberapa waktu lalu.
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tri Winarno menegaskan perizinan impor BBM telah dikeluarkan tepat waktu dan tidak ada kendala dari pihak ESDM.
"Tidak (lambat). Untuk yang tiga bulan ke depan, berarti April, Mei, Juni, sudah kita kasih," ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (26/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tri juga menjelaskan mekanisme impor yang dilakukan Shell Indonesia seharusnya mengikuti model yang diterapkan oleh Pertamina.
Dalam sistem ini, semua persiapan dilakukan sebelum rekomendasi izin keluar, sehingga distribusi bisa langsung berjalan begitu izin diterbitkan.
"Enggak lah. Jadi gini, modelnya seperti model Pertamina. Jadi semua disiapin, pada saat rekomendasi keluar itu langsung running. Kalau pada saat rekomendasi keluar baru pesan ini, pesan itu, nah itu akan lama memang," tutur Tri Winarno.
"Kayak Pertamina itulah, model Pertamina itu. Bisa cepat. Kan sebelum rekomendasi keluar, dia sudah pesan ini, pesan kapal, pesan ini. Jadi pada saat rekomendasi ini, sudah langsung running," jelasnya.
Lebih lanjut, Tri menegaskan tidak ada perizinan yang lama di ESDM, termasuk untuk periode mendatang.
"Kalau saya melihatnya, enggak. Karena untuk bulan April saja izinnya sudah keluar sekarang," katanya.
Saat ditanya apakah kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) menyebabkan keterlambatan izin, Tri pun kembali membantah.
"Enggak. Enggak ada," tegasnya.
Presiden Direktur dan Country Chair Shell Indonesia Ingrid Siburian mengungkapkan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang sempat terjadi di jaringan SPBU Shell sejak Januari lalu disebabkan oleh hambatan dalam rantai pasok yang berada di luar kendali perusahaan.
Ingrid menjelaskan seluruh varian BBM Shell, termasuk RON 92, 95, 98, serta solar CN51, mengalami kondisi stockout akibat keterlambatan pasokan.
Menurutnya, pihaknya telah mengajukan permohonan neraca komoditas untuk 2025 sejak September 2024 sebagai dasar untuk mendapatkan persetujuan impor.
"Setelah kami mengajukan permohonan neraca komoditas, kami juga melakukan korespondensi dengan kementerian terkait, yaitu ESDM, dan menyampaikan apa saja potensi yang akan terjadi, misalnya potensi stock out apabila terjadi keterlambatan dari sisi supply," ujar Ingrid dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2).
Namun, pihaknya baru memperoleh neraca komoditas pada 20 Januari 2025 dan persetujuan impor pada 23 Januari 2025.
Setelah memperoleh izin impor, Ingrid mengatakan pihaknya segera mempercepat proses pengadaan BBM, yang mencakup penunjukan kapal, persiapan produk, bongkar muatan di terminal, pengetesan, hingga distribusi ke SPBU.
Menurutnya, proses ini memakan waktu sekitar 20 hari sebelum BBM sampai ke jaringan SPBU.
(del/agt)