Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana membeberkan sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) yang saat ini tengah berjalan.
Menurutnya, beberapa masalah yang muncul berasal dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru beroperasi, terutama dalam hal skala produksi makanan.
"Rata-rata itu karena masih belum terbiasa. Jadi kami sekarang menyarankan, menginstruksikan kepada yang baru-baru agar memulai program dari jumlah kecil. Meskipun ibu-ibu sudah biasa memasak untuk lima sampai 10 orang, tapi untuk bisa memasak lebih dari 1.000 itu butuh pembiasaan," ujar Dadan di Kemenko Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Senin (3/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, ia menekankan agar SPPG yang baru memulai program cukup memasak untuk 100-150 orang terlebih dahulu. Jika sudah terbiasa, jumlahnya bertahap ditingkatkan ke 500, 700, hingga akhirnya mampu melayani 3.000 penerima manfaat.
Menanggapi laporan makanan basi yang sempat mencuat di publik, Dadan mengklarifikasi beberapa informasi yang beredar tidak sepenuhnya akurat.
"Misalnya ada berita yang menyebut makanan basi sampai tiga hari, ternyata tidak, hanya sehari. Kami evaluasi, besoknya sudah terjadi perbaikan," katanya.
Ia juga menegaskan pihaknya rutin melakukan evaluasi setiap hari setelah makanan didistribusikan. Evaluasi tersebut mencakup verifikasi berita di media, laporan masyarakat, serta tindak lanjut kepada SPPG yang mengalami kendala.
Saat ini, program MBG telah melibatkan 726 SPPG yang melayani lebih dari 2,5 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia.
BGN juga sedang memverifikasi tambahan 300 SPPG baru, yang ditargetkan dalam dua minggu ke depan dapat memperluas jangkauan layanan hingga lebih dari 3 juta penerima manfaat.
Dari segi anggaran, Dadan menjelaskan untuk melayani 3 juta penerima manfaat, BGN mengalokasikan sekitar Rp1 triliun per bulan.
Namun, jika program ini dipercepat dan ditargetkan mencapai 82,9 juta penerima manfaat pada tahun 2025, maka kebutuhan anggarannya akan meningkat menjadi Rp25 triliun per bulan mulai September hingga Desember 2025.
"Kami sudah memiliki anggaran Rp71 triliun di 2025, dan tambahan Rp25 triliun per bulan akan dialokasikan sesuai dengan perkembangan program," paparnya.
Secara keseluruhan, Dadan menilai program ini berjalan lancar, terutama bagi SPPG yang telah beroperasi lebih dari empat minggu.
Sebagai upaya transparansi dan pengawasan bersama, ia meminta seluruh SPPG untuk mengunggah hasil masakan mereka setiap hari ke media sosial seperti Instagram dan Facebook.
"Agar semua yang dimasak di hari itu diunggah ke media sosial sebagai bagian dari pengawasan bersama," ujarnya.
Terkait efektivitas pengawasan melalui media sosial, Dadan menegaskan laporan dari penerima manfaat tetap menjadi sumber utama dalam menilai kualitas makanan.
"Kalau rasa, mereka yang menerima. Biasanya akan ada laporan dari lokasi masing-masing, itu pasti," katanya.
Ia juga memastikan bahan baku dan makanan yang disajikan diperiksa secara berkala setiap bulan untuk menjaga kualitasnya.
Mengenai insiden ayam mentah yang sempat terjadi, Dadan menyebut hal itu lebih disebabkan oleh kurangnya kecepatan dalam proses memasak.
"Kami sudah evaluasi. Itu karena pembiasaan saja, masaknya terlalu lambat, kurang cepat," jelasnya.
Ia menegaskan kejadian serupa tidak akan terulang karena perbaikan sudah dilakukan di lapangan.
(del/agt)