Pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex menduga kurator sengaja menghindari pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) pekerja pada Lebaran 2025 ini.
Karena itulah, mereka mem-PHK karyawan Sritex dua hari jelang Ramadan 2025.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Slamet Kaswanto mengatakan sejak perusahaan dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024, perusahaan menjadi milik kurator. Namun, kurator baru melaksanakan kewenangannya setelah beberapa bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada 26 Februari 2025 itu kurator dengan tiba-tiba mengambil kewenangannya untuk melakukan PHK, yaitu 2 hari menjelang pelaksanaan hari pertama bulan suci ramadan. Tentunya kami bertanya-tanya, ada apa ini? Apakah ini menghindari untuk kami mendapatkan THR," ujar Slamet dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Selasa (4/3).
Lihat Juga : |
Oleh sebab itu, para pekerja Sritex berharap Komisi IX bisa membantu mereka mendapatkan haknya. Apalagi, PHK dilakukan ketika mereka tengah bekerja bahkan sampai lembur.
"Nah inilah yang akan kita laporkan ini, bapak ibu di komisi IX agar melakukan pengawalan terhadap kami ini. Jadi tanggal 26 kami diputus PHK oleh kurator dan kami masih diberi waktu efektif 2 hari untuk berkemas-kemas barang pribadi, karena posisi masih kerja. Di Sritex itu 26 dinyatakan PHK tapi masih lembur," jelasnya.
Slamet mengatakan Presiden Prabowo Subianto pernah menekankan bahwa tidak boleh ada PHK di Sritex, sehingga para pekerja berharap ada langkah yang diambil pemerintah bagi para pegawai.
"Waktu itu dari bapak presiden pas rapat di Magelang dan kita sampaikan dan bapak presiden sampaikan jangan ada PHK di Sritex dan perusahaan harus tetap berjalan. Jadi kami berpikir apakah ini yang dimaksud diskresi karena kalau secara hukum kepailitan kan sudah beralih ke kurator," pungkasnya.
Sritex resmi tutup pada Sabtu (1/3). Hal ini merupakan puncak dari krisis keuangan yang telah melanda perusahaan selama beberapa tahun terakhir.
Krisis keuangan Sritex bermula pada 2021 ketika perusahaan gagal melunasi utang sindikasi sebesar US$350 juta atau setara Rp5,79 triliun (asumsi kurs Rp16.551 per dolar AS).
Saat itu, manajemen Sritex menyatakan akan mengajukan restrukturisasi utang untuk mengatasi permasalahan finansial yang dihadapi. Namun, setelah beberapa tahun, perusahaan tetap tidak bisa melunasi utang hingga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024.
Akibat penghentian operasionalnya ini, tercatat lebih dari 8.000 lebih karyawan yang terdampak dan harus kehilangan pekerjaan.