Aturan Negara Bisa Ambil Tanah Kosong Tuai Kekhawatiran Warga

CNN Indonesia
Selasa, 15 Jul 2025 12:30 WIB
Kebijakan pemerintah bisa mengambil alih lahan bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun memunculkan kekhawatiran dari sejumlah warga.
Kebijakan pemerintah bisa mengambil alih lahan bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun memunculkan kekhawatiran dari sejumlah warga. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi).
Jakarta, CNN Indonesia --

Kebijakan pemerintah bisa mengambil alih lahan bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun memunculkan kekhawatiran dari sejumlah warga.

Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama bagi masyarakat yang memiliki lahan namun belum bisa dimanfaatkan karena berbagai alasan.

Kebijakan ini diungkapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Nusron, lahan yang tidak digunakan untuk aktivitas ekonomi maupun pembangunan selama dua tahun akan dikategorikan sebagai tanah terlantar, dan dapat ditetapkan sebagai objek reforma agraria.

"Terhadap yang sudah terpetakan dan bersertifikat, manakala sejak dia disertifikatkan dalam waktu dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan apa-apa atau dalam arti tanah tersebut tidak didayagunakan kemanfaatannya, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan," ujar Nusron dalam Pengukuhan dan Rakernas I PB IKA-PMII Periode 2025-2030 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7).

Peringatan dilakukan secara bertahap hingga memakan waktu total hampir empat tahun sebelum lahan ditetapkan sebagai tanah terlantar. Namun, wacana ini dinilai membingungkan oleh sebagian warga, terutama pemilik tanah.

Ugo (41), seorang pegawai swasta yang memiliki lahan di wilayah Bogor, menyampaikan kekhawatiran mendalam.

Ia menolak wacana tersebut karena merasa sebagai pemilik sah tanah yang sudah bersertifikat, dirinya tetap memiliki hak untuk menentukan kapan dan bagaimana lahan itu akan dimanfaatkan.

"Jelas tidak setuju. Lahan saya di wilayah Bogor, khawatir juga diambil alih negara. Ini menimbulkan ketidakpastian secara hukum. Setiap pembatalan sertifikat kan seharusnya melalui proses pengadilan, kalau tiba-tiba diambil, ya berbahaya," ujar Ugo kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/7).

Ia menilai seharusnya pemerintah memberikan kepastian hukum terlebih dahulu, bukan memaksa pemilik untuk langsung memanfaatkan tanahnya tanpa kejelasan perlindungan hukum.

"Pemerintah memaksa saya untuk 'mengusahakan' atau membuat tanah saya produktif. Tapi bagaimana saya mau membuka usaha kalau tidak ada kepastian hukum seperti ini? Pemerintah berharap saya membuka usaha atau apalah, membuat tanah saya produktif. Tapi kalau begini caranya saya jadi makin enggan untuk 'berusaha' di lahan saya. Terus apa definisi tanah terlantar? Buktinya saya tiap tahun membayar pajak," ungkapnya.

Ugo juga menegaskan ia memegang sertifikat hak milik yang sah dan meminta pemerintah tidak asal menetapkan kebijakan tanpa kajian menyeluruh.

"Pemerintah jangan asal untuk menerapkan kebijakan. Sebaiknya dikaji ulang kebijakan itu, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini sama saja 'lingkaran setan'. Pemerintah ingin ekonomi maju dan bergerak, orang-orang kayak saya dan pemilik lahan lainnya disuruh berusaha dan mengusahakan di tanahnya," ujarnya.

Namun, menurutnya, situasi ekonomi yang sulit dan minimnya kepastian hukum justru membuat pemilik lahan semakin tidak berani untuk mengambil risiko membuka usaha.

"Tapi di tengah situasi ekonomi seperti ini, bagaimana saya mau membuka usaha. Apalagi tidak ada kepastian hukum. Mana bisa saya tenang berusaha? Akhirnya tujuan pemerintah untuk menggerakkan ekonomi pasti sulit tercapai," tegas dia.

"Sebaiknya berikan dulu kepastian hukum, agar saya juga tenang berusaha di lahan saya. Bukannya malah bikin kebijakan seperti ini. Enggak jelas. Jadinya malah makin malas untuk membuka usaha," imbuh Ugo lebih lanjut.

Respons serupa juga datang dari Andi (30), seorang pegawai swasta lainnya. Ia memandang tanah tidak pernah benar-benar menganggur karena nilainya bisa terus meningkat meskipun tidak langsung dimanfaatkan.

Ia memahami maksud pemerintah yang menganggap tanah menganggur sebagai lahan tanpa aktivitas fisik, namun menurutnya kondisi setiap pemilik tanah tidak bisa disamaratakan.

"Enggak (setuju) lah. Tanah kan instrumen investasi, didiemin aja udah kerja tuh tanah karena value-nya naik dengan sendirinya," ujarnya.

"Bisa dibilang, tanah enggak bisa nganggur. Gue ngerti maksud pemerintah nganggur itu enggak ada kegiatan di atas tanah. Tapi kalau gue enggak tahu tanahnya mau diapain atau enggak punya dana abis buat beli tanah selama dua tahun, amsyong banget dong gue? Banyak masyarakat kecil yang enggak bakal mau beli tanah akhirnya entar," tutur Andi.

Sementara itu, Tata (31), juga pegawai swasta, menilai intervensi pemerintah terhadap tanah milik pribadi terasa cukup invasif.

Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pendekatan yang lebih adil dan partisipatif, seperti skema pembelian kembali oleh negara untuk dimanfaatkan secara publik dengan cara yang lebih layak dan tidak merugikan pemilik sah lahan.

"Rasanya cukup invasif ya intervensinya. Rasanya meresahkan kalau hak milik pribadi pun enggak aman. Mungkin lebih baik kalau ada cara lain dalam menangani tanah terlantar, misal apakah ada skema pembelian balik dari negara supaya tanah itu bisa dibudidayakan untuk keperluan publik yang lebih layak?" ujarnya.

"Sistemnya harus dipikirkan supaya tidak merugikan pihak-pihak terkait," ucap Sismita.

Saat ini, dari total 55,9 juta hektare tanah bersertifikat di Indonesia, sebanyak 1,4 juta hektare telah dikategorikan sebagai tanah terlantar dan masuk ke dalam program reforma agraria pemerintah.

Kebijakan ini berlaku untuk seluruh bentuk hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hingga hak pakai, tanpa pengecualian.

[Gambas:Video CNN]

(del/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER