Ekonom Sebut Fenomena Rojali Mirip Krisis 2008 Menggelayuti Ekonomi RI
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut fenomena rombongan jarang beli atau Rojali di Indonesia saat ini mirip krisis 2008.
Rojali merujuk fenomena Rojali ini sebagai tindakan masyarakat yang pergi ke mal atau pusat perbelanjaan untuk cuci mata alias window shopping alih-alih berbelanja.
"Rojali' ini memang kelihatan. Di mal-mal kan kita lihat," kata David dalam Bank Indonesia Editors Briefing 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Jumat (16/7).
Dia lalu menyebut warga Jakarta jika pergi ke mal bahkan mencari barang dan tempat makan yang menawarkan diskon. Situasi semacam ini membuat daya beli menurun.
"Saya bertemu dengan beberapa supplier produk-produk luxurious seperti tas, arloji, mereka merasakan [penurunan minat beli] mirip-mirip krisis 2008," ungkap David.
Menurut data BPS, laju konsumsi pada tiga bulan pertama tahun ini hanya 4,87 persen atau di bawah periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 4,91 persen. Padahal, ada efek Ramadan dan Lebaran di periode tersebut.
Perlambatan konsumsi juga tercermin dari penjualan eceran yang lajunya tak sampai 5 persen secara tahunan. Mengacu data Bank Indonesia, indeks penjualan riil (IPR) pada Januari 2025 hanya tumbuh 0,5 persen (yoy), Februari 2 persen, dan Maret 0,5 persen.
Di kesempatan itu, David juga menerangkan kelompok kelas menengah atas masih menahan konsumsi. Mereka padahal menopang sekitar 70 persen konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Alih-alih menghabiskan untuk berbelanja, kelompok menengah dan menengah atas menyimpan uang mereka di berbagai instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil tinggi.
"Giro aja ada yang (menawarkan) 7 persen, apalagi deposito. Terus juga yield SBN lumayan tinggi dan ada instrumen lain emas digital, emas biasa, perhiasan. Instrumen investasi posisinya lagi menarik bagi mereka (konsumen)," ucap David.
Namun, ekonom itu meyakini tren konsumsi semester II 2025 akan membaik dibanding paruh pertama. Terlebih, faktor ketidakpastian eksternal dari sisi tarif Amerika Serikat dan geopolitik mereda.
"Pemerintah juga belanja dan memberikan stimulus. Saya pikir, kondisi (konsumsi) semester II akan berbeda jauh dengan semester I secara keseluruhan," imbuh dia.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Juli Budi Winantya juga punya penilaian sama. Dia menyebut konsumsi rumah tangga akan membaik karena beberapa faktor.
Pertama, daya beli masyarakat akan meningkat seiring inflasi yang stabil. Tahun ini, BI memperkirakan inflasi dalam kisaran 2,5 plus minus satu persen.
"Inflasi diperkirakan masih akan rendah dan stabil tentunya daya beli tidak akan tergerus sehingga daya beli akan tetap baik," ujar Juli di tempat yang sama.
Kedua, pemerintah juga masih memberikan dukungan dalam bentuk pemberian bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ketiga, perbaikan kinerja sejumlah sektor misalnya pertanian yang mendapat dukungan untuk harga beli gabah yang baik. Ini juga akan berdampak positif pada laju konsumsi ke depan.
Keempat, ketidakpastian ekonomi global yang mereda juga akan berdampak positif terhadap konsumsi.
"Confidence yang semakin membaik akan membuat ekspektasi untuk melakukan konsumsi rumah tangga juga akan semakin meningkat," ungkap Juli.
Kelima, ekspor Indonesia juga diperkirakan meningkat setelah AS menetapkan tarif impor asal Indonesia ke-2 terendah di ASEAN, yakni 19 persen.
Jika ekspor membaik, menurut David, pendapatan juga bakal ikut membaik.