PT Freeport Indonesia (PTFI) mengumumkan siap memulai produksi perdana katoda tembaga dari smelter Manyar di Gresik, Jawa Timur, dengan kapasitas tahunan mencapai 441.000 ton. Momen ini menandai langkah penting dalam proses hilirisasi sektor pertambangan, yang tak hanya berfokus pada nilai ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi sosial secara nyata.
Langkah ini memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok industri global, terutama untuk bahan baku kabel listrik, kendaraan listrik, dan teknologi energi terbarukan. Namun lebih dari sekadar pengolahan tembaga, pembangunan smelter ini turut memperlihatkan bagaimana hilirisasi dapat dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara inklusif.
Riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) bertajuk 'Laporan Akhir Membangun Kemitraan antara Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan untuk Optimalisasi Manfaat Hilirisasi' pada 2024 mencatat Gresik sebagai contoh sukses kemitraan antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu inovasi yang diterapkan adalah forum 'Rembuk Akur' yang memfasilitasi perekrutan tenaga kerja dari sembilan desa Ring 1 di sekitar kawasan industri. Selain itu, keterlibatan pelaku usaha lokal telah membuka ruang partisipasi ekonomi yang lebih luas.
Peneliti utama dalam laporan tersebut, Hendi Subandi, mencatat UMKM tidak hanya berperan sebagai penyedia jasa katering dan logistik, tetapi juga didorong melalui pengembangan sentra IKM seperti Songkok Kemuteran dan Mesin Logam Pelemwatu Menganti di Gresik.
"Dengan kemitraan strategis, pelaku UMKM dapat mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok industri, yang pada akhirnya memperkuat ekosistem ekonomi lokal," tulisnya.
Laporan itu juga menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif dalam hilirisasi. Melalui model hexahelix, yang melibatkan perusahaan, pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil, manfaat hilirisasi dinilai lebih berkelanjutan dan menyentuh banyak aspek kehidupan.
"Dengan melibatkan berbagai aktor dalam model kemitraan hexahelix, hilirisasi dapat menciptakan ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan, memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat lokal," lanjut Hendi.
Pendekatan kolaboratif ini terbukti memberikan dampak positif yang terukur. Studi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) berjudul 'Kajian Dampak Hilirisasi Industri Tambang terhadap Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan: Tembaga, Bauksit, dan Pasir Silika' mengungkap hilirisasi di Gresik berdampak pada peningkatan indikator sosial masyarakat.
Data menunjukkan perbaikan dalam rata-rata lama sekolah, peningkatan umur harapan hidup, serta penurunan angka stunting. Hal ini menjadi dampak tidak langsung dari pembangunan industri dan pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang meningkat.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI, Nur Kholis, menambahkan hilirisasi memperkuat belanja pembangunan di sektor-sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan, karena peningkatan pendapatan daerah membuka ruang fiskal yang lebih besar. Dalam konteks jangka panjang, model ini dipandang mampu mendongkrak kualitas hidup masyarakat di sekitar kawasan industri.
"Dengan pendapatan daerah yang meningkat, daerah-daerah hilirisasi kini memiliki kapasitas fiskal yang lebih baik untuk membiayai layanan dasar. Ini menunjukkan bahwa manfaat hilirisasi bisa langsung dirasakan oleh masyarakat," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (25/7).
Produksi katoda tembaga dari smelter Manyar akan menyuplai kebutuhan bahan baku untuk industri kabel listrik, kendaraan listrik, dan teknologi energi terbarukan. Dengan kapasitas pengolahan yang besar, fasilitas ini memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok industri global.
Namun yang lebih penting, smelter Gresik membuktikan bahwa pembangunan industri bisa menciptakan nilai bersama. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat setempat memiliki peran yang saling menguatkan, menciptakan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.
(rir)