Pihak Istana Kepresidenan membantah pemerintah akan memajaki amplop kondangan.
Bantahan disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Komplek Istana Kepresidenan, Jumat (25/7) siang.
"Tidak ada (pajak amplop kondangan ) itu, temen-teman Direktorat Jenderal Pajak sudah menjelaskan mengenai isu yang sedang ramai di publik soal isu pengenaan pajak terhadap sumbangan dari acara-acara pernikahan, tidak ada itu, belum," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu soal pemerintah akan memajaki amplop kondangan mengemuka belakangan ini. Pemicunya , pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menteri BUMN Erick Thohir serta CEO Danantara Rosan Roeslani beberapa waktu lalu.
Saat rapat, ia menyebut rencana pajak amplop kondangan itu muncul imbas dividen BUMN tak lagi masuk ke kas Kementerian Keuangan, melainkan dikelola penuh Danantara.
"Semua sekarang dipajaki, bahkan kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapatkan amplop di kondangan, di hajatan juga akan dimintai pajak oleh pemerintah," ungkap Mufti dalam Raker dan RDP dengan Pemerintah di Komisi VI DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (23/7).
"Kan ini tragis, membuat rakyat hari ini cukup menjerit," tegasnya mengkritik pemerintah.
Pernyataan itu dibantah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menganggap pernyataan dari DPR RI yang mengaku mendengar isu tersebut berasal dari kesalahpahaman prinsip perpajakan.
"Kami perlu meluruskan bahwa tidak ada kebijakan baru dari Direktorat Jenderal Pajak maupun pemerintah yang secara khusus akan memungut pajak dari amplop hajatan atau kondangan, baik yang diterima secara langsung maupun melalui transfer digital," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/7).
Kendati demikian, Rosmauli mengatakan setiap tambahan kemampuan ekonomis memang dapat menjadi objek pajak. Ia menegaskan hal tersebut bisa termasuk hadiah atau pemberian uang.
DJP Kemenkeu menegaskan hal tersebut sejalan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
"Namun, penerapannya tidak serta-merta berlaku untuk semua kondisi. Jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP," tutur Rosmauli.
Ia juga mengatakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self-assessment. Ini membuat setiap wajib pajak harus melaporkan sendiri penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
"DJP tidak melakukan pemungutan langsung di acara hajatan dan tidak memiliki rencana untuk itu," tegas Rosmauli membantah klaim DPR RI.
(tfq/agt)