Banyak keraguan muncul di tengah masyarakat soal apakah ekonomi benar-benar sedang lesu atau hanya asumsi saja. Pasalnya, pada saat bersamaan, tiket konser artis luar negeri ludes, penjualan iPhone hingga boneka Labubu pun laris manis.
Sejumlah ekonom menyebut fenomena tersebut sebagai treatonomics. John Stevenson, analis ritel di Peel Hun, mengatakan treatonomics mirip dengan fenomena "lipstick effect" atau "efek lisptik" yang tenar saat Depresi Besar pada 1930-an.
Saat itu, dunia mengalami guncangan perekonomian yang sangat besar. Namun, penjualan kosmetik justru meroket. Hal serupa juga terjadi pascateror 911 pada 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Treatonomics, kata Stevenson, adalah level berikutnya dari Efek Lipstik. Orang-orang memangkas pengeluaran untuk kebutuhan dasar, tetapi justru membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak esensial.
"Anda memotong pengeluaran dasar, mungkin lebih banyak membeli merek keluaran toko, tetapi dengan alasan yang sama, Anda akan datang ke konser Oasis di akhir pekan dan menghabiskan 500-1.000 poundsterling (Rp11 juta-Rp22 juta)," kata Stevenson, dilansir CNBC, Jumat (8/8).
Sejumlah ekonom setuju treatonomics berkembang di era ketidakpastian ekonomi. Fenomena ini berkembang karena ketidakpercayaan diri konsumen menghadapi situasi.
Direktur senior di firma analisis ritel Kantar Meredith Smith mengatakan treatonomics lebih dikenal Gen Z di Tiktok sebagai "little treat culture".
Biasanya, ucapnya, orang menghabiskan uang untuk merayakan pencapaian besar. Namun, saat ini orang cenderung merayakan hal-hal kecil dengan membelanjakan uangnya.
Pencapaian hidup tradisional, seperti menikah, membeli rumah, hingga berprestasi di tempat kerja saat ini dianggap sebagai hal-hal yang sulit dicapai.
"Ini seperti 'Efek Lipstik' yang lebih dahsyat karena konsumen-konsumen memiliki rasa ketidakpastian yang lebih tinggi, ditambah semakin banyaknya pilihan dan akses dibanding sebelumnya yang menjadikan pengambilan keputusan sehari-hari menjadi kesempatan untuk mendapat sesuatu yang menyenangkan," ucap Smith.
Treatonomics juga berkembang seiring pesimisme di kalangan konsumen. Indeks Kepercayaan Konsumen Inggris menunjukkan penurunan.
Indeks itu mengukur perilaku konsumen, termasuk ekspektasi terhadap situasi ekonomi dan posisi finansial rumah tangga, serta pandangan atas belanja rumah tangga yang besar.
Sementara itu, kepercayaan konsumen di AS meningkat Juli 2025. Namun, angkanya masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Para ekonom mengatakan tren treatonomics dan pesimisme konsumen ini membuat belanja barang yang lebih terjangkau dan memuaskan akan tetap menarik konsumen.
"Ini menguatkan indikasi treatonomics akan bertahan setidaknya tiga-lima tahun ke depan, meskipun kita bisa memprediksi tren di 'little treat culture' bergerak lebih cepat dan terbagi secara geografis dan ceruk budaya," ujar Smith.
"Ini tantangan bagi merek-merek yang harus lebih lincah dan menyesuaikan bagaimana tren mikro ini berkembang," ucapnya.
(dhf/agt)