Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut informasi soal banyak penggilingan padi skala kecil yang berhenti beroperasi belakangan ini merupakan framing.
Sebab, kata Amran, pabrik penggilingan tutup bukan fenomena baru lantaran sudah terjadi sejak belasan tahun lalu.
"Sekarang ada yang mem-framing bahwa banyak pabrik kecil tutup. Tutupnya bukan hari ini, itu sudah 15-20 tahun. Kami sudah paparkan di rakortas, kemudian di ratas kami sampaikan. Mungkin ke depan kita bisa menata kembali," ujar Amran dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (21/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amran menjelaskan kapasitas penggilingan padi di Indonesia sebenarnya jauh melebihi kebutuhan produksi. Saat ini terdapat 161.401 unit penggilingan kecil dengan kapasitas mencapai 16 juta ton, sementara produksi beras nasional berkisar 65 juta ton per tahun.
"Artinya apa? Dengan penggilingan kecil saja, ini masih ada kapasitas yang terpasang yang tidak terpakai," kata Amran.
Ia menambahkan keberadaan penggilingan besar dan menengah turut memperketat persaingan di lapangan. Kapasitas tambahan dari kelompok ini diperkirakan mencapai 50 juta ton. Menurutnya, kondisi ini semakin terasa ketika memasuki musim paceklik atau rendeng.
"Kalau yang kecil, kalau musim panen raya itu masih aman, tapi begitu masuk musim rendengan (musim hujan), paceklik, itu panennya tinggal 30 persen dari total. Maksimal 35 persen. Nah, model di lapangan yang terjadi adalah kalau yang besar datang membeli, yang kecil naik 6.700 (per kg), yang besar membeli sampai 7.000 (per kg)," jelasnya.
Ia mengkritik praktik sejumlah penggilingan besar yang menjual beras premium dengan harga tinggi, padahal kualitasnya tidak sesuai standar.
"Karena pabriknya efisien dan dia menjual premium, kalaupun nanti di dalamnya itu sebenarnya bukan premium. Itu adalah beras yang brokennya 30-40 persen. Dan itu jauh dari standar. Dan ini data aslinya yang tadi kami tunjukkan," kata Amran.
Amran menilai tanpa adanya intervensi pasar, penggilingan kecil memang berisiko kalah bersaing.
"Sudah pasti kalau ini adalah konsepnya kita, pasar bebas tidak intervensi, penggilingan kecil menunggu waktu habis. Dan pada saatnya nanti yang besar ini memonopoli dan 161 ribu, katakanlah yang mempekerjakan 10 orang berarti 1 juta orang kehilangan pekerjaan," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso menyebut sekitar 40 persen pabrik penggilingan padi tutup usai kasus beras oplosan diusut.
Ia mengutip temuan Ombudsman RI bahwa di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat, yang mendapati 10 dari 23 penggilingan berhenti beroperasi. Sutarto mengatakan laporan serupa juga datang dari daerah lain, seperti Yogyakarta dan Jawa Timur. Namun ia menegaskan tidak ada data pasti secara nasional.
"Empat puluh persen persen kan kira-kira. Apakah itu bisa menggambarkan seluruh Indonesia? Ya saya enggak bisa mengatakan kalau tidak ada survei, tapi kalau penampakan di Karawang bisa saja terjadi di banyak tempat," kata Sutarto kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, pengusaha penggilingan terbebani kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pokok produksi (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kilogram, sementara harga eceran tertinggi (HET) beras tetap di Rp12.500 per kilogram. Situasi ini membuat margin usaha menipis, apalagi ditambah penindakan aparat dalam kasus beras oplosan.
(del/pta)