Di Depan DPR, Bos BPS Bantah Manipulasi Data Pertumbuhan-Kemiskinan
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti membantah tudingan bahwa lembaga yang dipimpinnya telah merekayasa data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 kemarin.
Wanita yang akrab disapa Winny itu menegaskan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) mengikuti standar internasional dan diawasi banyak pihak. Ia menyebut setiap proses bisnis BPS sudah memiliki mekanisme pengendalian kualitas (quality assurance) yang ketat.
Selain itu, PDB hanya salah satu dari ribuan statistik yang dihasilkan setiap tahun oleh BPS melalui ratusan survei di bidang sosial, produksi, dan ekonomi.
"Tentunya kami di setiap proses bisnis memastikan quality assurance. Itu sudah menjadi standar kami dalam bekerja dan semua statistik yang kami hasilkan memiliki standar kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, Selasa (26/8).
Winny menjelaskan metodologi penghitungan PDB mengacu pada panduan resmi dari Komisi Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga internasional lainnya. Untuk PDB, BPS menggunakan System of National Accounts (SNA).
Sedangkan untuk inflasi, penentuan mengacu pada Consumer Price Index Manual.
"Metodologi BPS itu mengacu pada panduan dari Komisi Statistik PBB dan lembaga internasional, termasuk untuk menghitung PDB dan inflasi," kata Winny.
Tidak hanya itu, BPS dipercaya PBB sebagai UN Regional Hub on Big Data and Data Science for Asia and Pacific. Posisi ini, kata Winny, menunjukkan pengakuan dunia terhadap kredibilitas BPS dalam pengelolaan data.
Sejumlah negara, seperti Nigeria, Vietnam, Ghana, hingga Turki, bahkan belajar ke BPS terkait metode penghitungan dan analisis data. Saat ini, BPS menempati peringkat ketiga di Asia Tenggara dalam keterbukaan data statistik, di bawah Malaysia dan Singapura.
"Ini tidak mudah karena di Asia Pasifik hanya satu negara yang mendapat kepercayaan, dan BPS menjadi salah satunya. Sejumlah negara bahkan belajar ke Indonesia tentang metode statistik," jelasnya.
Sejumlah anggota DPR sebelumnya meminta klarifikasi atas perbedaan angka pertumbuhan ekonomi BPS dengan proyeksi berbagai ekonom dan lembaga keuangan.
Adapun BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen (year-on-year), sementara perkiraan ekonom berada di kisaran 4,6 hingga 4,9 persen. Perbedaan ini memicu dugaan adanya manipulasi data.
Winny menegaskan perbedaan tersebut wajar karena setiap lembaga memiliki model dan asumsi berbeda. Ia memastikan data BPS bisa dipertanggungjawabkan dan akan dijelaskan lebih mendalam melalui forum khusus bersama para pakar.
Selain menjawab tudingan soal PDB, Winny juga menanggapi isu garis kemiskinan yang ramai dibicarakan di media sosial. Ia menyatakan tidak benar jika BPS menurunkan garis kemiskinan untuk memperbaiki angka.
"Kalau ada di dalam perbincangan netizen bahwa kita menurunkan garis kemiskinan itu sebenarnya tidak benar. Jadi memang literasi statistik sangat dibutuhkan, masyarakat kadang-kadang ingin ikut berbicara tentang data tetapi kadang-kadang cara membaca data dan menerjemahkan datanya masih belum pas," ujar dia.
Garis kemiskinan nasional per Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp609.160 per orang per bulan, naik dari periode sebelumnya. Namun, ia menekankan pengukuran yang tepat harus dilihat pada tingkat rumah tangga, yakni minimal pengeluaran Rp2,87 juta per bulan.
"Karena pendapatan dan pengeluaran rumah tangga itulah yang menentukan tingkat kesejahteraan dari rumah tangga itu. Sehingga tingkat pengeluaran rumah tangga untuk supaya dia keluar dari garis kemiskinan atau di atas garis kemiskinan adalah di atas Rp2,875 juta per rumah tangga per bulan," tutur Winny.
Menurut Winny, posisi sedikit di atas garis kemiskinan tidak otomatis membuat rumah tangga tersebut masuk kategori kaya. Masih ada lapisan rentan miskin, menuju menengah, hingga kelas menengah yang perlu dipahami publik agar tidak terjadi misinterpretasi data.
"Jadi tentunya kelihatannya memang betul, ini kita perlu sama-sama literasi bagaimana cara membaca garis kemiskinan yang pas dan di atas garis kemiskinan itu belum tentu masuk dalam golongan kaya, tergantung dia di mana di atas garis kemiskinan," jelasnya.
BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari total penduduk. Angka ini turun 0,2 juta dibandingkan September 2024.
Namun, kesenjangan antara desa dan kota masih ada, dengan tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 11,03 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan sebesar 6,73 persen.
Kredibilitas BPS dipertanyakan setelah merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen, jauh di atas perkiraan sejumlah ekonom. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menilai ada kejanggalan dalam data penopang pertumbuhan, terutama pada sektor industri pengolahan.