Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bakal menarik Rp200 triliun uang pemerintah yang selama ini disimpan di Bank Indonesia (BI) untuk ditebar ke perbankan umum.
Purbaya mengatakan selama ini ada Rp425 triliun uang pemerintah yang hanya disimpan di BI. Dana 'nganggur' itu di antaranya berasal dari sisa anggaran lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA).
Menurutnya, hal ini membuat ekonomi tak berputar dan orang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah lapor ke Presiden, 'Pak, saya akan taruh uang ke sistem perekonomian'. Saya (Kementerian Keuangan) sekarang punya Rp425 triliun di BI, cash. Besok saya taruh Rp200 triliun," ucap Purbaya pada Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (10/9).
Purbaya menjelaskan uang yang ditarik dari BI nantinya akan disimpan seperti deposito di bank umum. Pihak bank diberi keleluasaan menggunakan uang itu, tetapi tidak boleh untuk membeli surat utang negara (SUN). Dengan demikian, perekonomian di masyarakat diharapkan bisa bergerak.
Lantas bagaimana dampak kebijakan ini pada perekonomian?
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan tersebut bisa meningkatkan penyaluran kredit bank ke masyarakat.
"Sehingga kredit mengalir ke kegiatan padat karya seperti perumahan terjangkau, proyek konstruksi terkait, serta pembiayaan produktif bagi UMKM di desa," katanya pada CNNIndonesia.com, Kamis (11/9).
Syafruddin mengatakan penempatan dana pemerintah terbukti pernah menggandakan kredit pada periode 2020-2021 di mana penempatan dana Rp66,99 triliun memicu sekitar Rp382-387 triliun kredit. Artinya, injeksi dana yang besar dengan tata kelola dan target sektor yang ketat berpotensi mengungkit pembiayaan beberapa kali lipat.
Dengan begitu, serapan tenaga kerja juga bisa meningkat terutama di sektor konstruksi dan rantai pasok bahan bangunan yang menyerap jutaan pekerja. Kemudian, serapan tenaga kerja juga terjadi UMKM yang menyumbang porsi dominan pekerjaan nasional.
"Sehingga akses kredit murah cepat berubah menjadi perekrutan karyawan, pembelian bahan baku, dan perluasan kapasitas usaha," katanya.
Agar dampak kebijakan tersebut maksimal, sambungnya, pemerintah perlu menetapkan multiplier minimum atas dana yang ditempatkan, pelaporan berkala realisasi kredit dan indikator tenaga kerja, serta clawback jika target tidak tercapai.
"Dengan arsitektur seperti ini, injeksi Rp200 triliun bukan hanya mempercantik neraca bank, melainkan mendorong proyek baru, memperluas usaha, dan menciptakan lapangan kerja secara terukur," katanya.
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan sebenarnya kebijakan ini merupakan inisiasi yang baik karena pemerintah melalui Kementerian Keuangan berupaya menginjeksikan likuiditas ke perekonomian.
"Bank tentu akan berupaya memanfaatkan dana tersebut untuk memperoleh imbal hasil, baik melalui penyaluran kredit maupun penempatan dana pada instrumen pasar keuangan," ucapnya.
Yusuf mengatakan tanpa aturan teknis yang jelas, bank memiliki fleksibilitas untuk menentukan strategi pengelolaan likuiditas sehingga manfaatnya belum tentu langsung menyentuh sektor riil. Karena itu, kejelasan regulasi turunan menjadi penting agar arah kebijakan ini benar-benar sesuai dengan tujuan awal.
Selain itu, keberhasilan penyaluran kredit sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Meski bank mendapat tambahan likuiditas, jika permintaan kredit tetap lemah karena pelaku usaha enggan berekspansi di tengah ekonomi yang lesu, maka dampak kebijakan akan terbatas.
Karena itu, Yusuf menilai kebijakan tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu ditopang oleh langkah-langkah lain yang mampu memperbaiki ekosistem perekonomian secara simultan agar injeksi likuiditas benar-benar mendorong aktivitas sektor riil.
"Adapun risikonya, penambahan likuiditas besar-besaran ke perbankan dapat mendorong kelebihan uang beredar, terutama jika dana tidak tersalurkan secara produktif. Kondisi ini berpotensi meningkatkan inflasi," ujar Yusuf.
(fby/dhf)