Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyoroti musim giling tebu 2025 yang bisa berdampak bagi industri gula nasional. APTRI juga memberi catatan khusus bagi seluruh pemangku kepentingan terkait musim giling tebu tahun ini.
Sekretaris Jenderal DPP APTRI, Sunardi Edy Sukamto, menyebutkan proses giling yang dimulai sejak Mei masih berlangsung, dengan hasil produksi berupa gula kristal putih (GKP) dan tetes. Namun, stok GKP milik petani masih menumpuk karena lemahnya penyerapan pasar.
Edy menjelaskan, kondisi ini dipicu adanya rembesan gula rafinasi yang langsung di jual ke pasar konsumsi, sehingga gula hasil giling petani sulit terserap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hampir setiap lelang gula petani sepi penawaran, mengakibatkan ketidakpastian harga dan pendapatan," ujar Edy dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9).
Edy mengaku, sejumlah langkah strategis telah ditempuh oleh pemerintah maupun swasta. Termasuk langkah PT SGN yang ikut menyerap gula petani.
Di sisi lain pemerintah melalui Danantara juga sudah mengalokasikan Rp1,5 triliun, dimana Rp900 miliar di antaranya untuk petani tebu di bawah SGN dengan target 62.141 ton, dan saat ini terealisasi 21.500 ton.
Tak hanya itu, PT PIR (Gulavit) juga terus konsisten menyerap gula dari petani. Sementara pedagang di Jawa Timur turut berperan melalui lelang rutin.
"Atas penyerapan gula petani yang telah dilakukan tersebut, petani melalui APTRI menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya," ujar Edy.
Meski begitu, Edy juga menyoroti lambannya realisasi serapan oleh ID Food yang membuat pedagang enggan menyerap sisa produksi petani.
"Kesepakatan di Bapanas Jakarta jelas, serapan 83.000 ton tahap pertama oleh ID Food dan pedagang harus tuntas. Setelah itu, sisa produksi berikutnya sepenuhnya diambil pedagang," ujarnya.
"Jika ID Food tidak segera menuntaskan kuota Rp900 miliar untuk petani tebu di bawah PT SGN dalam pekan ini, maka swasembada hanya akan menjadi mimpi," ujar Edy.
Selain gula, Edy juga menaruh perhatian pada harga tetes yang jatuh akibat pembebasan bea masuk impor molases. Dari Rp2.700-3.000/kg pada 2024, kini merosot jadi Rp900-1.200/kg, membuat pendapatan petani makin tertekan.
APTRI, lanjut Edy, sangat berharap industri pergulaan nasional bisa lebih baik lagi ke depannya. Dengan begitu persoalan-persoalan seperti ini tidak terjadi lagi, sehingga dapat memberi kepastian kepada petani.
"Sekali lagi, kami mengapresiasi dan terima kasih pada pihak yang telah melakukan penyerapan gula petani, khususnya pada pemerintah melalui Danantara, PT SGN, Gulavit dan pedagang yang berada di Jawa Timur, sehingga kontribusi ini bisa terus membantu keberlangsungan kami bersama," pungkas Edy.
(ory/ory)