Harga emas tak kunjung berhenti mencetak rekor tertinggi. Pada Rabu (1/10), harga emas Antam di situs Sahabat Pegadaian menembus Rp2.335.000 per gram usai naik Rp13 ribu.
Dengan catatan ini, harga emas kembali mencetak rekor tertinggi.
Lantas apa yang membuat harga emas melonjak? Sampai kapan harga emas akan naik ?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah mengatakan harga emas tetap mengalami kenaikan saat ini bukan semata-mata karena ketegangan geopolitik, melainkan kondisi ekonomi dan moneter global. Saat ini, tren naik didorong oleh ekspektasi pemotongan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed.
"Ekspektasi penurunan suku bunga The Federal Reserve membuat imbal hasil obligasi menurun, sehingga biaya peluang memegang emas berkurang dan logam mulia ini menjadi lebih menarik bagi investor," katanya pada CNNIndonesia.com, Rabu (1/10).
Selain itu, sambungya, masyarakat mulai melihat emas sebagai instrumen yang ideal untuk lindung nilai (hedging). Ketika kondisi ekonomi sedang kurang baik, yang ditandai dengan kondisi melemahnya rupiah, daya beli masyarakat terhadap aset berbasis dolar turun, inflasi yang berpotensi naik, dan ketidakpastian ekonomi meningkat, maka emas dipilih masyarakat karena nilainya relatif stabil secara global. Emas dinilai bisa menjaga kekayaan dari tergerus inflasi dan depresiasi rupiah.
Shofie mengatakan kenaikan harga emas sangat tergantung pada kondisi makro global. Selama pasar melihat ketidakpastian untuk berinvestasi di sektor selain emas karena faktor perlambatan ekonomi global, tingginya inflasi, dan risiko pasar keuangan, maka harga emas mungkin tidak akan turun dalam waktu cepat.
"Setidaknya dalam beberapa bulan ke depan hingga 1-2 kuartal," kata Shofie.
Senada, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan harga emas tidak hanya bereaksi pada konflik geopolitik. Harga juga mencerminkan ketidakpastian kebijakan fiskal moneter, prospek pertumbuhan ekonomi, dan dinamika mata uang cadangan.
"Shutdown fiskal di AS, peluang pemangkasan suku bunga, dan pelemahan dolar menciptakan kebutuhan lindung nilai yang berbeda dari narasi perang: lindung nilai terhadap salah langkah kebijakan dan erosi nilai uang," katanya.
Selain itu, sambungnya, ada pendorong struktural kenaikan harga emas, di mana banyak bank sentral di berbagai negara yang dalam beberapa waktu terakhir menambah kepemilikan emas (gold reserves) sebagai aset cadangan.
Sementara itu, investor institusional menempatkan emas sebagai penyeimbang volatilitas portofolio.
"Jadi, meski ketegangan militer surut, kombinasi policy risk, dolar yang lebih lemah, dan permintaan resmi tetap mendorong harga naik," katanya.
Ia memperkirakan harga emas akan terus naik hingga akhir tahun karena pasar menilai The Fed menuju pelonggaran kebijakan moneter, imbal hasil riil melemah, dan bank sentral terus menambah kepemilikan emas.
Syafruddin mengatakan skenario dasar menempatkan harga emas di kisaran US$3.750 - US$4.050 per troy ons atau Rp1,95-2,11 juta per gram (kurs Rp16.200 per dolar AS).
"Skenario bullish mendorong rentang ke US$4.100-US$4.200 per troy ons (Rp2,21-2,27 juta per gram pada nilai tukar Rp16.800). Sedangkan skenario defensif menarik harga ke US$3.300-3.500 per troy ons (Rp1,67-Rp1,78 juta per gram pada nilai tukar Rp15.800)," katanya.
(pta)