Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut pendapatan BPJS Kesehatan tidak pernah positif, kecuali ada kenaikan iuran.
"Memang BPJS itu gak pernah sustainable, dia positif kalau dinaikkan iuran. Jadi, kenaikan iuran itu selalu telat. Sudah minus minus minus, (baru) naikin (iuran BPJS Kesehatan)," ujar BGS dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Kamis (13/11).
Pada paparan Kemenkes, beban jaminan kesehatan nasional (JKN) alias BPJS Kesehatan selalu lebih besar daripada pendapatan iuran, setidaknya sejak 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Defisit terus terjadi, kecuali pada pada 2019 dan sepanjang masa pandemi covid.
Oleh karena itu, Budi mendorong adanya pembahasan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Ini menunjukkan bahwa memang dari dinamika kenaikan iuran, walaupun secara politis memang ini sensitif, ini harus dikaji terus untuk menjaga sustainability dari BPJS dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat kita," dorong Budi.
"Tugas kita bersama untuk menjelaskan bahwa iuran BPJS itu sebenarnya sangat-sangat murah dan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat," imbuhnya.
Budi kemudian membedah langkah-langkah dalam menjaga keberlanjutan keuangan BPJS Kesehatan, selain menaikkan iuran peserta.
Ia menegaskan pentingnya sistem dan mekanisme iuran yang efisien.
Ia mencontohkan bakal ada Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada penerapan skema BPJS terbaru. Menurutnya, BPJS memang seharusnya difokuskan kepada masyarakat kelas bawah.
"Walaupun ini debat terus sama BPJS. Saya bilang, BPJS gak usah cover yang kaya-kaya deh. Karena yang kaya, kelas I, biar diambil swasta. Prinsip KRIS itu intinya adalah nyamain, supaya swasta bagus," ucap Budi.
Jumlah penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan tembus 96,8 juta orang atau 34 persen dari total populasi rakyat Indonesia. Data tersebut dipotret Kemenkes per Juli 2025.
Kemenkes mencatat masih ada 10,84 juta jiwa penerima bantuan yang tidak tepat sasaran, yakni dari desil 6 sampai desil 10.
Pemutakhiran kepesertaan PBI dengan mengacu Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) pun didorong Kemenkes agar penerima bantuan hanya desil 1-desil 5.
Di lain sisi, Budi menekankan pentingnya efisiensi dalam alur rujukan pasien. Ia menegaskan ke depan alur rujukan pasien mesti berbasis kompetensi agar menghemat pengeluaran BPJS.
"Sekarang orang sakit serangan jantung harus dibedah. Dia dari Puskesmas, masuk dulu RS tipe C, rujuk lagi tipe B, nanti rujuk lagi tipe A. Padahal, yang bisa melakukan (bedah) sudah jelas tipe A, tipe C (dan) tipe B gak mungkin bisa tangani. Harusnya dengan demikian, BPJS gak usah keluar uang 3 kali, sekali saja langsung dinaikkan ke yang paling atas," jelasnya.
(skt/sfr)