PROFIL PSIKOLOG

Roslina Verauli, si 'Ugly Duckling' Tempat Curhat Para Remaja

Windratie | CNN Indonesia
Senin, 19 Jan 2015 12:40 WIB
Seperti apa rasanya menyelami jiwa seseorang? Mencebur ke dalam permasalahan hidup mereka, menjadi satu-satunya teman bicara bagi orang asing.
Roslina Verauli, psikolog anak dan remaja dari RSPI (CNNIndonesia/ Windratie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti apa rasanya menyelami jiwa seseorang? Mencebur ke dalam permasalahan hidup mereka, menjadi satu-satunya teman bicara bagi orang asing.

Setiap manusia di dunia memiliki urusan hidup. Namun, pada taraf tak lagi mampu membawa beban itu, jiwa merasa butuh pertolongan . Jiwa yang ‘sakit’ berbeda dengan raga yang sakit. Sebagian dari kita mencari bantuan psikolog.

Di sini peran psikolog. Mencurahkan isi hati pada mereka, tak sama dengan menceritakan kesukaran hidup pada sahabat atau teman. Psikolog dibayar secara profesional untuk mendengarkan Anda, tapi dia tidak pernah menyarankan. Pasien sendiri lah yang harus menemukan jalan keluarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pagi itu, tidak ada jadwal praktik untuk Roslina Verauli (38). Dia mengajak saya bertemu di rumah tinggalnya yang nyaman di kawasan Jakarta Barat. Psikolog yang akrab disapa Mba Vera ini, sedang merapikan rambut dengan penata rambut saat saya datang. Kami berbicang dengan suara mesin pengering rambut yang meraung-raung.

Vera bercerita, siang itu dia ada jadwal rapat, jadi penampilan, terutama rambut, sangat penting untuknya. Siapa sangka, krusialnya rambut bagi Vera merunut panjang dalam perjalanan hidupnya. Termasuk keputusan hidupnya menjadi seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga.

“Itu kompleks memang. Saya dulu orang yang super duper inferior, minder maksudnya, jadi inferiority complex,” kata Vera. Karena merasa  sangat tidak percaya diri, Vera kecil akan bersembunyi di kamar jika ada tamu datang.

“What makes me sangat minder? Ada empat perempuan (di keluarga). Kita kakak adik, saya nomor dua. In my perspektif dulu semuanya kece-kece kecuali gue,” tukasnya.

“Empat ini semua rambutnya lurus-lurus, rambut saya kribo sendiri, krise keriting semborono. Semuanya sehat-sehat, badanku kurus kering sendiri,” kata Vera.

Satu hal penting lain, saat semua saudaranya menjadi juara satu di kelas, Vera hanya mendapat rangking dua. “Yang gilang-gemilang, kakakku anak yang sangat populer, kece, anak band.”

Bagi orang tua Vera, prestasi sangat penting. “Achievement, achievement, nah itu yang bikin saya minder. Saya merasa bukan juara satu tapi juara dua. jadi, saya enggak juara dong,” ucap Vera. 

Dengan penghayatan yang rendah diri saat kecil, Vera menjadi lebih senang membaca buku-buku sedih  dengan cerita mirip pengalaman hidupnya, seperti buku karya Hans Christian Andersen, The Ugly Duckling.

That was me, hidupnya seperti saya,”  kata Vera yang kemudian terinspirasi melahirkan buku pertamanya tentang psikologi remaja I Was an Ugly Duckling, I am a Beautiful Swan pada 2005.

Berbasis hal itu, suatu ketika Vera menyadari ternyata dia tak sebodoh yang dianggapnya. Tes kecerdasan menunjukkan IQ-nya superior. Dia pun belajar sungguh-sungguh sampai berbagai prestasi gemilang akhirnya berhasil diraih.

“Saya menjadi the best studient di SMA, NEM (Nilai Ebtanas Murni) saya termasuk salah satu yang tertinggi di sekolah dan di Riau, masuk UI (Universitas Indonesia) sebagai mahasiswa undangan,” tukas istri Hendri Gunawan tersebut.

Vera dulu merasa bahwa yang membuat orang bermasalah hanya disebabkan oleh dua hal. Penghayatan dia tentang dirinya dan bagaimana dia berhubungan dengan orang lain di sekitarnya, terutama keluarga saat dia kecil. Itu alasan kenapa dia memilih jurusan psikologi di Universitas Indonesia. 

That’s why I realize bahwa enggak boleh nih orang-orang kaya gue. Kasihan loh kalau remaja-remaja ada yang penghayatannya sampai segitunya. Itu yang perlu dicegah, that’s why gue mau jadi psikolog. Intinya mau menginspirasi orang-orang, enggak sebaiknya kita merasa inferior ugly duckling.”

Minat pada psikologi klinis


Vera memiliki minat terhadap psikologi klinis yang dapat mengubah skema orang terhadap dirinya sendiri. Orang-orang bermasalah buruk, merasa tidak bisa apa-apa, tidak kompeten akan diubah ke dalam perspektif yang lebih positif.

Di Indonesia, bidang psikologi klinis menurut Vera terbagi menjadi psikologi anak dan dewasa. Padahal menurut ibu dari Franklinazhel Gunawan (4) dan Benjaminazhel Gunawan (5 bulan) itu, masalah kejiwaan seseorang ibarat rantai yang saling terkait, dari masa kecil sampai dewasa.

“Anak yang dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) kecilnya, kalau tidak dibenahin, dan dia tidak merasa kalau itu ADHD, itu bisa mengganggu penghayatan dirinya sampai gede loh,” ucap Vera menjelaskan.   

Seorang kliennya memiliki kecerdasan yang dianggap Vera baik-baik saja, tetapi rasa rendah dirinya sangat besar. “Ternyata tahu enggak mindernya kenapa?” kata Vera bertanya. “Dia dari dulu gak bisa matematika, dia punya mathematic disorder pas saya cek.”

Anak tersebut menganggap dirinya bodoh sejak kecil, dan dampaknya akan berlanjut sampai dewasa. “Mengubah penghayatan orang tentang dirinya sendiri, nah saya maunya klinis. Kita harus membuat klien secara emosional sejahtera.”

Vera tergiring mendalami psikologi anak dan remaja, menangani orang secara umum, bukan orang-orang yang berada pada ekstrem yang menurut Vera sudah bergangguan secara mental. “Ada hal-hal yang hopeless untuk ditangani. Akhirnya saya ambil klinis anak,” ucap Vera menjelaskan. 

Vera mengaku dia sangat mudah membaca pola-pola atau gejala pada anak.  Setiap diagnosis diwakili oleh serangkaian gejala, dan Vera memiliki kemampuan untuk menangkap gejala tersebut.

“Bakat kali ya. Intinya adalah kekuatan saya klinis, baik anak ataupun dewasa tapi tidak menangani orang dengan gangguan mental berat yang memang sudah harus ditangani khusus oleh klinis dewasa yang menangani gangguan kejiwaan dan psikiater,” katanya. 

Jalan Vera sebagai psikolog pun sempat ditentang oleh ayahnya. “Dulu orang tua saya mengira jadi psikolog itu kayanya enggak ada duitnya deh, padahal ternyata bukan itu. Tiap orang di bidang apapun bisa loh mengembangkan dirinya,” kata Vera.

Hal itu pun dibuktikan oleh Vera. Lulus dari S2 Fakultas Psikologi UI, bersama teman-teman kuliahnya Vera sempat membuka klinik Empathy Development Center. Berdasarkan pengalaman pribadinya sebagai remaja yang rendah diri, dia pun menulis buku I Was an Ugly Duckling, I am a Beautiful Swan pada 2005.

Lewat buku tersebut Vera hendak menyampaikan, bahwa setiap orang memiliki potensi keangsaan. “Maksudnya every human itu unique, dan setiap uniqueness dia adalah potensi-potensi keangsaan. Setiap orang punya potensi keangsaan, ketika menemukan potensi keangsaan tadi kamu bisa mengepakkan sayap keangsaanmu,” kata Vera bersemangat.
 
Sejak buku pertamanya terbit, banyak merek-merek suatu produk memintanya tampil sebagai pembicara. Dari situ lah justru, seperti diakui Vera, pendapatannya berasal. “Kalau praktik sih, itu kesukaanku, kecintaanku. Sama seperti aku ngajar buat hobi. Jadi jangan dilihat uangnya. Itu kerja sosial benar,” tutur Vera.

Kegiatan lain ibu dua anak ini adalah mengajar kuliah Psikologi Kognitif untuk SI dan kuliah Abnormal Patologi pada Anak untuk S2 di Universitas Tarumanegara.

(win/utw)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER