Jakarta, CNN Indonesia -- Datangnya musim kemarau dan cuaca ekstrem membuat kondisi ketersediaan air minum dan air bersih di pulau-pulau di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Contohnya, Pulau Jawa merupakan pulau dengan defisit kebutuhan air bersih sebesar minus 134.102 juta meter kubik setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kebutuhan air bersih yang melampaui ketersediaannya.
Tak hanya di Pulau Jawa, Indonesia yang mewakili enam persen dari keseluruhan sumber daya air dunia, justru di beberapa daerah, seperti Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur kini mengalami defisit air. Kondisi ini didorong juga oleh populasi penduduk yang konstan menanjak.
Sementara, untuk status air permukaan, kondisi sungai yang ada di beberapa wilayah di Indonesia sudah berada di bawah batas layak sumber air baku. Tingkat kekeruhan di beberapa sungai pada tahun 2010 sudah melewati batas 1000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Sumber air ini lah yang dikonsumsi oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam data Badan Pusat Statistik tahun 2012, diketahui sebanyak 33 persen rumah tangga di Indonesia masih menggunakan fasilitas tak layak untuk memperoleh air minum. Lebih lanjut, kerap dijumpai air yang tidak layak minum dengan berbagai ciri seperti keruh, berbau, berasa, dan dihuni bakteri.
Sulitnya akses air bersih, menurut Dr. Ir. Firdaus Ali, M.Sc, ketua Indonesia Water Institute dalam jumpa pers di Kembang Goela, Sudirman pada Selasa (25/8), disebabkan oleh distribusi air yang tak merata.
"Hingga saat ini, baru 29 persen masyarakat Indonesia yang dapat mengakses air bersih melalui perpipaan, jauh di bawah target pemerintah untuk 2019, yaitu sebesar 60 persen," kata Firdaus.
"Kualitas air permukaan pun mengalami penurunan yang memprihatinkan. Diperkirakan kelangkaan sumber daya air bersih akan semakin buruk dengan prediksi musim kemarau berkepanjangan dan curah hujan yang menurun disebabkan oleh gejala penyimpangan pada suhu permukaan air laut Pasifik atau El Nino, di Indonesia," ujarnya menjelaskan.
Air yang higienisAir tak layak konsumsi ini menyebabkan penyakit internal, terutama diare pada anak-anak. Berdasarkan data UNICEF tahun 2012, angka penderita diare pada anak yang mengonsumsi air dari sumur terbuka untuk minum cenderung lebih tinggi 34 persen, dibanding anak yang mengonsumsi air ledeng.
Sementara itu, Prof Umar Fahmi Achmadi, Guru Besar FKM UI, mengatakan, kondisi air seperti ini bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu cara mengatasi kondisi tersebut adalah dengan mendorong kesadaran mengonsumsi air higienis.
"Saat ini semakin banyak bakteri dan virus serta bahan kimia beracun yang dapat terbawa oleh air dan menyebabkan penyakit berbahaya,” ujar Umar.
Menurutnya, kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi air higienis masih rendah, padahal air berkualitas buruk dapat meningkatkan resiko penyakit karena kuman yang dikandung (waterborne diseases) seperti kolera, diare, tifus, sakit kuning dan polio.
(win/utw)