Hafizd Mukti Ahmad
Hafizd Mukti Ahmad
Pernah berprofesi sebagai jurnalis sejak 2009 di sejumlah media nasional, gemar memasak, jalan-jalan dan bermain musik​.​

Aku Tak Benci Jakarta, Hanya Terpaksa 'Pulang'

Hafizd Mukti Ahmad | CNN Indonesia
Senin, 12 Okt 2015 15:49 WIB
Mahalnya kota di Jakarta membuat sebagian pekerja dari luar Bodetabek menjadi komuter dan setiap minggu 'pulang' ke kota asal.
Sebagian besar pekerja di Jakarta tidak mendapat penghasilan yang cukup untuk bisa membeli rumah dekat dengan tempat kerja. (Ilustrasi/CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Saya hanya memiliki waktu sekitar 30 menit dari rumah kos di bilangan Palmerah ke terminal bus Kebon Jeruk untuk mengejar bus terakhir pukul 01.30 yang akan membawa saya pulang ke Bandung. Selalu terburu-buru. Selalu repot.

Tapi setiap pekan, sepanjang tahun, selama 5 tahun terakhir, saya melakukan rutinitas ini. Tak hendak sekalipun saya melewatkannya. Kecuali tugas kantor berjibun dan memaksa saya menghabiskan akhir pekan di Jakarta.

Saya beruntung. Jarak Jakarta-Bandung yang tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga jam, membuat ritual pulang sepekan sekali mudah saja. Tak perlu cuti tahunan. Tak perlu menunggu lebaran. Ongkos bus juga cuma Rp80 ribu sekali jalan. Di awal-awal dulu malah hanya Rp35 ribu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya tidak mengerti mengapa selalu ingin pulang ke Bandung. Padahal di kota kelahiran itu pada akhirnya saya hanya akan lebih banyak tidur di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Sesekali keluar untuk bertemu teman atau sekadar menyusuri jalanan yang sekarang juga mulai mengejar kemacetan Jakarta.

Saya juga tidak benci Jakarta. Saya bekerja di kota ini. Lima hari dalam seminggu saya habiskan di sini. Teman dan pergaulan juga berlimpah. Bahkan kemacetannya sudah saya terima dengan lapang dada.

Dari sedikit pembicaraan dengan teman-teman senasib yang tidak memiliki rumah tetap di Jakarta, ada banyak alasan mengapa mereka memilih pulang ke rumah asal setiap pekan.

Mulai dari bertemu dengan anak, istri, orang tua, teman lama, melepas kejenuhan, hingga tidak memiliki cukup uang untuk membeli kenyamanan di Jakarta.

Mereka hanya menyewa kenyamanan yang setimpal dengan harga, artinya mengontrak rumah atau menyewa kamar seadanya. Sementara, kenyamanan tempat tinggal yang sebenarnya ada di kota asal masing-masing.

Jakarta memang kota yang mahal. Bayangkan harga apartemen studio sudah berkisar Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Cukuplah itu jadi ukuran. Tapi di kota ini pula duapertiga uang negara beredar. Pendapatan per kapita di kota ini mencapai US$11 ribu dolar.

Persebaran uangnya saja yang tidak merata. Dan bagi kebanyakan warga Jakarta seperti saya, terlalu sedikit uang jatuh ke tangan kami.

Satu kawan jadi contohnya. Nyaris enam tahun di Jakarta, kondisinya masih begitu-begitu saja (dari faktor ekonomi). Cukup untuk menabung, tapi tidak untuk menguasai properti layak yang berjarak, misalnya, 30 atau 60 menit ke pusat kota. 

Ia sama dengan saya, tidak membenci Jakarta. Klise saja, ia butuh uang untuk tetap hidup. Karenanya perasaan rindu pulang di akhir pekan tetap ia jaga.

Kawan lain memilih tinggal di kota satelit seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang yang memerlukan banyak upaya juga tenaga untuk bisa mencapai pusat kota Jakarta. Pukul rata mereka harus menghabiskan waktu sekitar 16 jam di luar rumah setiap harinya. Artinya mereka hanya mempunyai waktu delapan jam setiap harinya untuk keluarga. Terlalu sedikit.

Data statistik dari Badan Pusat Statistik, BPS, Jakarta menunjukkan bahwa jumlah penduduk ber-KTP Jakarta pada 2014 mencapai 10,075 juta. Sementara jumlah komuter dari Bodetabek mencapai hampir 1,4 juta orang. Sayangnya, tidak ada catatan statistik tentang komuter setiap akhir pekan ke kota-kota lain di luar Bodetabek.

Jakarta selalu menjadi bahan yang renyah untuk dibahas di antara kami-kami yang bermukim di Bodetabek maupun yang memilih menjadi komuter akhir pekan di luar Bodetabek.

Apakah kota ini pantas untuk ditinggali. Tentang gaji yang semakin jauh dari harga properti.

Tentang fasilitas sosial yang nyaris tidak ada. Tentang Jakarta yang semakin asing untuk penduduknya. Tentang kelas menengah yang tidak mau dikategorikan miskin tapi sulit menjadi kaya.

Pulang bagi kami mungkin sebagai penawar agar tidak mengeluh atau meracau tentang kota yang sulit kami cintai tetapi tempat menggantung kehidupan. (dlp)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER