Mandok Hata, Merayakan Pergantian Tahun dalam Syahdu

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 01 Jan 2016 11:30 WIB
Sementara ingar-bingar terompet dan petasan meramaikan langit perkotaan pada malam tahun baru, sebagian masyarakat Batak memilih berkontemplasi.
Ilustrasi perayaan tahun baru. (REUTERS/Mohamed Abd El Ghany)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi Ruth, pergantian tahun yang ia jalani tadi malam (1/1) tidak jauh berbeda dari tiga tahun terakhir. Ia tak merayakannya dengan sorak-sorai dan gegap-gempita kembang api. Ruth menikmati malam tahun baru bersama sahabat-sahabat satu gereja.

Mereka menggelar acara bakar-bakar jagung dan bercengkrama. Sementara di sekelilingnya, histeria pergantian tahun menjadi euforia. Orang luar mungkin melihat perayaan tahun baru Ruth biasa saja. Tapi bagi seorang Batak dengan marga Silalahi seperti Ruth, itu sudah lebih dari cukup.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang merayakan tahun baru dengan pesta, pergantian tahun bagi masyarakat Batak adalah waktunya Mandok Hata. Bercengkerama dengan sahabat dan main kembang api seperti Ruth saja, sudah dianggap "melenceng" dari tradisi masyarakat Batak yang sebenarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mandok Hata adalah masa-masa berkontemplasi. Masyarakat Batak hanya melakukannya saat pergantian tahun. Bagi sebagian orang Batak, itu sama atau bahkan lebih penting dari perayaan Natal.

"Kalau buat Batak yang kental, tahun baru itu penting banget. Tahun baru itu momen saat seseorang dapat mengeluarkan semua ganjalan yang ada di hati," kata Ruth ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com. "Dari tua sampai muda, semuanya mengeluarkan unek-unek," ia melanjutkan.

"Ketika Mandok Hata, bisa sampai keluar air mata deh. Karena orang bisa mengatakan apa yang tidak disuka dan harapan ke tiap masing-masing orang," Ruth menceritakan.

Mandok Hata adalah tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak lama. Tradisi ini semakin kental setelah agama Kristen diterima sebagian besar masyarakat Batak.

Menariknya, beberapa Batak Muslim pun menerapkan tradisi itu. Namun, tentu tidak semua keluarga. Itu tergantung pada keputusan keluarga masing-masing.

Aslinya, ketika memasuki tengah malam sebagai tanda bergantinya tahun, lonceng gereja di sebuah kampung masyarakat Batak akan berdentang selama satu jam. Ketika itulah anggota keluarga Batak bangun dan melakukan kebaktian kecil di dalam rumah.

Dalam kebaktian tersebut, semua berdoa dan merenung dalam khidmat. Setelahnya, barulah Mandok Hata dilakukan. Seperti yang dituturkan Ruth, masing-masing anggota bebas menceritakan perasaannya satu sama lain selama setahun terakhir.

Pengungkapan itu ibarat introspeksi selama setahun terakhir. Dengan mengungkapkan perasaan, diharapkan pribadi akan menjadi lebih mawas diri, bersyukur, serta lebih dekat dengan Tuhan dan keluarga.

Mengingat makna Mandok Hata yang begitu esensial, tak jarang beberapa keluarga Batak yang masih kental tak memperbolehkan anggotanya untuk beraktivitas keduniawian di malam menjelang pergantian tahun.

"Tapi sekarang sudah banyak yang tidak sekental itu," kata Ruth. "Kalau ditanya kenapa sudah tidak banyak lagi yang melakukan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah terkikis dengan zaman."

Ruth dan teman-temannya termasuk yang tidak kental. Mereka biasanya hanya melewatkan tahun baru dengan kebaktian bersama keluarga. Lalu anak-anak muda akan berkumpul dan membuat pesta BBQ. "Anak zaman sekarang menganggap hal tersebut membuang waktu. Terkesan membosankan karena harus serius mendengarkan," kata Ruth.

Ia sendiri punya alasan tidak mengikuti Mandok hata. Baginya, momentum mengatakan ganjalan atas sikap seseorang tak mesti hanya saat pergantian tahun. Ia bisa introspeksi diri dan orang lain kapan pun, termasuk wejangan maupun kasih sayang.

Ruth juga mengaku membutuhkan hal yang baru dalam memaknai pergantian tahun, tanpa harus selalu dihiasi linangan air mata.

Sikap Ruth "menentang" tradisi turun-temurun itu diketahui betul oleh keluarga. Namun upayanya tentu tak tanpa aral. Seperti yang sudah diduga, keluarganya sempat protes dengan "pemberontakan" Ruth karena dianggap mengubah kebiasaan leluhur.

Namun, kini pihak keluarga pun mengizinkan sang Butet untuk menikmati pergantian tahun bersama sahabat-sahabatnya. Syaratnya, setelah ikut kebaktian bersama keluarga.

"Karena dilihat saya juga tetap melakukan perbuatan yang positif, ya akhirnya mereka juga mengerti," kata Ruth. "Malah, saya lebih dimarahi bila tidak berkunjung ke rumah saudara ketika di pagi hari di tahun yang baru, ketimbang tidak Mandok Hata."

Meski tradisi itu mulai tergerus di generasi muda Batak terutama yang hidup di kota metropolitan, Ruth tetap menyadari makna Mandok. Semangatnya tetap dihayati. Hanya saja, cara dan waktunya berbeda. (rsa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER