Singkawang, CNN Indonesia -- Bunyi tambur dan simbal memecah keheningan Kota Singkawang, Kalimantan Barat, yang diguyur hujan rintik-rintik sekitar pukul 7 pagi hari ini, Minggu (21/2). Dari kejauhan terlihat sekelompok orang membawa tandu, lantas dinaiki seseorang dengan kostum bak Dewa Tionghoa, yang disebut tatung.
Menjelang Cap Go Meh yang jatuh pada 15 bulan pertama dalam penanggalan China, banyak orang di Singkawang menjelma menjadi tatung. Dalam bahasa Hakka, tatung adalah orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur. Tujuannya untuk mengusir roh jahat.
Tepat di depan Klenteng Tri Dharma Bumi Raya di pusat Kota Singkawang, rombongan pembawa tatung berhenti, menurunkan tandu, dan tatung mulai beraksi. Ia mengambil sebilah pedang dan memegang bagian ujungnya dengan tangan kosong.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pedang itu dia tusukkan ke perutnya, namun tidak ada bangian tubuhnya yang terluka karena tatung dilindungi dewa yang merasuki tubuhnya.
Sambil tetap menusukkan pedang ke perut, tatung berjalan menuju teras Klenteng, melakukan sejumlah ritual, lantas masuk ke dalam Klenteng untuk berdoa kepada sang dewa di depan altar.
Setelah berdoa, tatung kembali ke tandu, dan berjalan pulang dengan rombongan yang sama yang mengantarnya. Tetapi ritual menjelang Cap Go Meh ini belum berhenti.
Belum juga hilang suara tambur dan tepukan simbal dari rombongan tatung yang pertama, rombongan lain tiba. Kostum yang dikenakan tatung rombongan kedua terlihat berbeda meski tetap bak dewa.
Di atas tandunya, tatung yang mengenakan kostum berwarna hijau dengan aksesori warna emas seolah memperlihatkan kegagahannya. Kaki kirinya menginjak pedang dan tangan kanan memegang kipas.
Setelah beratraksi, tatung bergegas turun dari tandu. Masih diiringi riuhnya suara tambur dan simbal, tatung menuju ke depan altar untuk menghadap dewa.
Hari beranjak siang ketika semakin banyak rombongan tatung berdatangan. Mereka merupakan rombongan dari berbagai klenteng kecil di setiap penjuru Kota Singkawang.
Mereka melakukan iring-iringan menuju klenteng utama di kota itu, Tri Dharma Bumi Raya, untuk meminta izin atau bersilaturahmi kepada dewa bumi.
Salah satu tatung bernama Djie Khin Djung menyebut, ritual tersebut bisa menjadi penolak bala sehari sebelum perayaan Cap Go Meh dilaksanakan.
"Iring-iringan menuju klenteng sekaligus buat membersihkan Kota Singkawang dari roh-roh jahat," kata Khin Djung kepada CNNIndonesia.com di Cetiya: Chau Liu Nyian Shai, Minggu (21/2).
Khin Djung sudah menjadi tatung sejak usia tujuh tahun. Setiap tahun, ia melakukan ritual tolak bala dan meramaikan Festival Cap Go Meh di Singkawang bersama anak-anaknya.
Selain tatung dari etnis Tionghoa, ada juga tatung dari etnis Dayak asli Kalimantan. Meski secara keseluruhan ritual yang dilakukan sama, namun ada perbedaan antara tatung etnis Tionghoa dengan Dayak.
Dari penampilannya, tatung asal Dayak tidak terlihat menggunakan kostum dewa, melainkan kostum adat berupa baju dari kulit kayu dan hiasan bulu di kepala. Bunyi tabuhan pun terdengar berbeda. Lebih memiliki nuansa khas nusantara dan sesekali diselingi teriakan.
Hal berbeda lainnya yaitu, ada salah satu tatung beratraksi ekstrem dengan menggigit ayam yang masih lengkap dengan bulunya. Masyarakat setempat setia menyaksikan ritual demi ritual dari para tatung.
Hujan yang mengguyur Kota Singkawang hampir sepanjang hari tak menyurutkan antusiasme masyarakat. Menurut panitia perayaan Cap Go Meh Kota Singkawang, Ganda, ritual tolak bala dan cuci jalan untuk mengusir roh jahat akan berlangsung sampai sore hari.
Keesokan harinya, para tatung akan kembali muncul dalam puncak perayaan Cap Go Meh. Mereka akan melakukan pawai dari Jalan Kalimantan sampai ke titik akhir di Patung Naga, Jalan Niaga.
(rdk)