Jakarta, CNN Indonesia -- Berbicara soal fashion show,
fashionista Jakarta kini fasih menyebut berbagai istilah mode. Mulai dari
runway,
fashion week, hingga brand-brand eksklusif asal Prancis yang pengucapannya
njelimet bagi lidah Indonesia.
Padahal, lima dekade lalu, Indonesia tidak mengenal soal mode. Baju hanyalah penutup tubuh. Model sandang pun terbilang konvensional, mengikuti tradisi budaya setempat. Di pulau Jawa, ibu-ibu mengenakan kebaya dan
jarit, sementara di pulau lain, baju kurung dan baju bodo mendominasi.
Di tangan Peter Sie, masyarakat Indonesia mulai melek mode. Tepatnya tahun 1950an. Itulah alasan kenapa Peter Sie disebut sebagai pelopor perancang mode Indonesia. Melalui tangan dan kreativitas pria kelahiran Bogor inilah, profesi perancang busana lahir dan menyemarakkan gaya berbusana wanita di era tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, di era Peter Sie, mode sama dengan
custom made. Fesyen bukanlah barang massal. Hanya bisa diakses segelintir orang. Imbasnya, profesi perancang mode dan model, dianggap eksklusif. Nama-nama seperti Non Kawilarang, Elsie Sunarya, dan Irie Supit yang muncul di era 60an dan 70an, disejajarkan dengan selebriti.
Barulah pada era 80an, Indonesia mengerti soal busana siap pakai. Pelopornya, seorang ‘anak baru’ bernama Prajudi Admodirdjo.
 Model berpose saat fashion show Prajudi di La Madame, Jakarta. Fashion show tersebut merupakan yang pertama setelah Prajudi puluhan tahun hiatus. (CNN Indonesia/Lesthia Kertopati) |
Di saat yang bersamaan, ada juga kolega ‘seangkatan’ Prajudi, yakni Iwan Tirta dan Harry Darsono. Bedanya, Prajudi lebih banyak mengembangkan tenun ikat, Iwan Tirta fokus pada batik dan Harry Darsono mengembangkan seni tekstil dan melahirkan generasi baru, perancang adibusana.
Prajudi, yang merupakan lulusan sekolah mode Jerman, melihat ada kekurangan di dunia mode Indonesia. Kekurangan yang dimaksud adalah akses. Mode hanya bisa diakses segelintir masyarakat. Mereka yang berduit.
Pejabat pemerintahan, selebriti dan bangsawan adalah para konsumen mode. Sisanya, mengenakan busana ala kadarnya.
Melihat hal itu, Prajudi pun melakukan diversifikasi bisnis. Selain mengembangkan tenun ikat, dia mulai memproduksi busana massal bagi kaum pekerja, kelas menengah - atas. Busana yang dia produksi massal, pada waktu itu, masihlah busana formal untuk pekerja kantoran. Namun, DNA busana
ready-to-wear alias siap pakai, mulai terbentuk.
Di era ini pula gaya busana ala Barat mulai kencang berembus. Kendati Peter Sie dan Non Kawilarang melakukan hal serupa, minat mode ala Barat baru tumbuh di tahun 80an.
 Nova Rini mempertahankan DNA rancangan Prajudi, yakni kebaya transparan beraksen yang dipadu kain batik. (CNN Indonesia/Lesthia Kertopati) |
Batik dan tenun ikat yang tadinya hanya kain, kini menjelma jadi busana eksklusif. Kain ‘mbok-mbok pasar’ pun naik kelas, sehingga pemerintah di masa itu, menetapkan kemeja batik sebagai busana resmi untuk pria.
Bahkan, Prajudi memberikan gebrakan baru. Dalam catatan Mendiang Muara Bagdja, jurnalis dan pemerhati mode, Prajudi memberikan napas baru pada kata ‘siap pakai’. Bukan hanya kain yang dia buat jadi praktis, melainkan juga kebaya.
“Di akhir tahun 80-an, kebaya mulai menggelegak. Di era ini seorang perancang almarhum Prajudi Admodirdjo, menampilkan kebaya dengan bahan yang belum pernah digunakan oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu, yaitu organdi atau organza,” tulis Muara.
Di tangan Prajudi, kebaya yang tadinya merupakan busana sehari-hari, menjadi begitu mewah. “Prajudi pun menambahkan aksen di bagian lengan. Pangkal lengan agak dibuat tinggi dengan lipit lipit yang dikerjakan dengan tangan. Biasanya dipadu dengan pareo – kain batik yang dikenakan dengan salah satu bagian ujungnya menjuntai,” terang Muara.
Sayangnya, pamor kebaya itu hilang bersama ketenaran Prajudi yang juga semakin pudar ditelan zaman. Prajudi tidak lagi aktif merancang. Namun demikian, dia mendidik banyak perancang baru, diantaranya Robby Tumewu, Denny Wirawan dan Ari Seputra.
 Nova juga mengaku masih bermain aman dengan rancangannya. (CNN Indonesia/Lesthia Kertopati) |
Nyawa BaruMeskipun dorman, terlebih setelah sang pendiri rumah mode meninggal, nama Prajudi belum mati. Hanya saja, bisnisnya hiatus. Mati suri.
Barulah pada akhir 2014, seorang mantan presenter Nova Rini, tergerak melakukan perubahan.
“Saya mendengar brand Prajudi akan dijual. Menurut saya, itu sayang sekali, apalagi Prajudi adalah seorang desainer besar. Sayang kalau namanya sampai hilang,” kata Nova pada
CNNIndonesia.com, saat ditemui di La Madame, Hang Tuah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Nova, yang juga penggemar batik, akhirnya bertekad menghidupkan kembali nama Prajudi. Aksi yang menurut dia sendiri, terbilang nekat.
“Saya tidak punya latar belakang mode. Saya juga bukan desainer. Tapi, saya suka batik dan saya kenal nama Prajudi sudah puluhan tahun,” terang Nova, yang kini menjabat sebagai pemilik brand sekaligus direktur kreatif Prajudi.
Apalagi, kata Nova, ibunya adalah pelanggan tetap Prajudi. “Kebaya dan kain-kain punya Mama, banyak yang buatan almarhum Prajudi. Jadi saya merasa itu warisan,” imbuhnya.
Dari situlah, Nova kemudian mengambilalih brand Prajudi dari tangan sang anak, yang selama ini mewarisi seluruh bisnis mode Prajudi. Nova menambahkan, para penerus Prajudi, lebih fokus di bisnis kuliner ketimbang mode. Alasan yang menyebabkan rumah mode tersebut terbengkalai.
Di tangan Nova, brand Prajudi berubah lebih minimalis dan modern, walaupun tidak menghilangkan nuansa klasik yang jadi ciri khas Prajudi.
Peluncuran brand baru itu pun disertai trunk show beberapa koleksi. Kebanyakan mengikuti DNA rancangan Prajudi, kebaya tembus pandang dengan aksen pada lengan, dada, dan pinggul, yang dipadu bersama kain batik. Lainnya, Nova menghadirkan koleksi busana formal, seperti dress, kemeja, serta bolero.
“Sekarang, dari segi desain, saya memang masih cari aman, sekaligus tes pasar,” paparnya.
 Motif batik klasik dengan gaya rancangan minimalis, diakui Nova, masih merupakan eksperimen pasar sekaligus memperkenalkan kembali nama Prajudi. (CNN Indonesia/Lesthia Kertopati) |
Tapi, koleksi tersebut tidak muncul begitu saja. Nova melakukan riset selama satu tahun tentang batik, juga gaya rancangan Prajudi. Dia pun bepergian ke daerah penghasil batik, mencari dan memperkerjakan kembali para pengrajin batik yang dulu pernah bekerja pada Prajudi.
Begitu juga dengan motif batik yang dia gunakan. Kendati banyak mengambil warna-warna cerah khas batik pesisir, Nova mempertahankan corak parang dan swastika, yang memang merupakan ciri khas Prajudi.
“Ciri khas Prajudi harus tetap ada,” kata dia.
Soal beban berat melanjutkan nama besar Prajudi, Nova tidak menampik. “Ini memang beban berat, tapi saya menjadikan ini sebagai tantangan agar tidak memalukan nama Prajudi ke depannya.”
Bukan hanya menghidupkan kembali nama Prajudi, Nova juga berencana melakukan ekspansi. Dalam waktu dekat, Prajudi akan mengeluarkan koleksi kaftan dan juga baju siap pakai untuk anak-anak.
Dia juga menjanjikan selalu ada koleksi baru di butik Prajudi. "Koleksinya akan hadir sesuai occasion, misalnya mendekati Ramadhan, kita hadirkan koleksi kaftan, dan ada juga kidswear," terang Nova.
Butik Prajudi sendiri kini berlokasi di Dharmawangsa Square. Lainnya, Nova masih mempertahankam beberapa gerai Prajudi di department store, di Jakarta serta Bandung.
(les)