Bolehkah Orangtua Memilih Sendiri Jenis Kelamin Anak?

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Rabu, 02 Mar 2016 07:37 WIB
Dalam merencanakan kehamilan, banyak pasangan yang mengharapkan punya anak dengan jenis kelamin sesuai keinginan mereka.
Ilustrasi bayi tabung (Sandy Huffaker/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam merencanakan kehamilan, banyak pasangan yang mengharapkan punya anak dengan jenis kelamin sesuai keinginan mereka. Agar bisa punya anak sesuai dengan jenis kelaminnya, calon orangtua rela melakukan banyak upaya. Misalnya, mengonsumsi vitamin saat berhubungan seks.

Seiring berjalannya waktu, perencanaan jenis kelamin ini pun membuat teknologi akhirnya "angkat bicara." Teknologi di dunia kedokteran beberapa waktu lalu memopulerkan program fertilisasi in vitro (IVF).  

Hal ini menjadi perbincangan hangat apakah pasangan yang hendak menentukan kehamilan diperbolehkan untuk diberikan pilihan ini, dan apa konsekuensi jika melakukannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari berbagai sumber, selama bertahun-tahun, para dokter pun telah berdebat mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar hal ini. Pada 1999, American Society for Reproductive Medicine, sebuah organisasi profesional, mengungkapkan bahwa sebaiknya penggunaan IVF untuk seleksi jenis kelamin tidak dianjurkan. Tetapi tahun lalu, sebuah kelompok mendesak para dokter untuk mengembangkan kebijakan mereka sendiri apakah diperbolehkan atau tidak untuk menawarkan layanan tersebut di praktik mereka.

"Dari sudut pandang pribadi saya sendiri, saya tidak berpikir ada sesuatu yang tidak etis mengenai semua itu, namun hanya menjadi hal yang kontroversial," kata Dr Mark Sauer, kepala divisi endokrinologi reproduksi dan infertilitas di Columbia University Medical Center.

Beberapa orang melihat bahwa IVF mengganggu proses alami. Dokter pun merasa khawatir saat bayi IVF pertama lahir pada 1978.

Beberapa protes keras masyarakat atas hal ini pun makin terdengar, terutama ketika berita kehamilan model Chrissy Teigen muncul.

Kegemparan terjadi ketika Chrissy Teigen mengumumkan bahwa ia memilih embrio perempuan untuk ditanamkan dalam rahimnya lewat proses IVF. Dia mengaku kesulitan untuk hamil.

Kegemparan yang terjadi ini diakui disebabkan karena diduga ada banyak masalah yang mungkin terjadi. Tapi apa masalah utama yang membuat para ahli dan masyarakat umum dari pemilihan jenis kelamin?

Tak Aman untuk Embrio

Program IVF sendiri tidak menyatakan apa-apa tentang jenis kelamin embrio. Pada metode konvensional, dokter mengambil telur wanita dan menyuburkan mereka dalam cawan petri. Setelah membiarkan embrio tumbuh selama beberapa hari, dokter melihat mereka di bawah mikroskop dan menanamkannya dalam rahim.

Namun, selama 20 tahun terakhir, perempuan dan pasangan semakin memiliki banyak pilihan untuk menambahkan langkah pemeriksaan untuk siklus IVF mereka, yang menentukan banyak tentang embrio, termasuk gender. Pada 2013, enam persen dari prosedur IVF termasuk pemeriksaan pada penyakit tertentu.

Sebuah survei tahun 2008 dari klinik di Amerika Serikat menemukan bahwa 74 persen menawarkan layanan tersebut.

Salah satu jenis pemeriksaan yang paling umum, dikenal sebagai genetika pra-implantasi atau PGS, melibatkan untuk mengambil satu sel dari embrio dan melihat kromosomnya. Ini membantu dokter menentukan embrio yang paling layak dan mengesampingkan kelainan kromosom yang mempengaruhi kondisi seperti Down Syndrome atau Turner Syndrome.

"Mengacu pada (semua jenis) pemeriksaan adalah untuk mengetahui jenis kelamin juga," kata Sauer.

Sauer menyerahkan keputusan itu pada pasangan apakah mereka ingin mengetahui jenis kelamin embrio atau, untuk memilih untuk menanamkannya. Mereka tahu penawaran selanjutnya—itu bagian dari informasi utama ketika pasangan melakukan pemeriksaan—dan kebanyakan dari mereka ingin tahu jenis kelamin embrio dan juga ingin menentukan jenis kelamin untuk implan.

Beberapa dokter berpendapat bahwa memanipulasi embrio untuk melakukan pemeriksaan dapat menyebabkan "risiko intrinsik" ke embrio. Meskipun kekhawatiran terjadi, saat ini memang belum ada bukti bahwa hal tersebut tidak aman.

"Tapi ketika Anda punya 'jutaan' bayi [yang disaring dengan cara ini], Anda akan kekurangan embrio tersebut dan Anda telah melakukan kerusakan pada embrio Anda," katanya.

Sauer menambahkan, ada bukti yang berkembang bahwa IVF secara umum itu aman. Sebuah studi pada 2015 melihat lebih dari satu juta reproduksi yang dibantu dengan teknologi antara tahun 2000 dan 2011 dan tidak menemukan bukti yang menyebabkan komplikasi, meskipun ada peningkatan laporan terjadinya nyeri pada ovarium atau efek samping lainnya.

Selain itu, langkah pemeriksaan ini dapat membuat kehamilan lebih aman. Para dokter pun dapat melakukan yang terbaik untuk menentukan embrio yang paling layak, semakin besar kemungkinan tersebut, mereka dapat pula untuk menanamkan hanya satu embrio dan mengurangi "peningkatan kelahiran kembar," kata Sauer.

"Di masa depan, mungkin akan menjadi standar praktik untuk menyaring setiap embrio."

Menyebabkan Bias Gender

Sejauh ini belum ada bukti, setidaknya di Amerika Serikat, yang memberikan pilihan untuk memilih jenis kelamin pada anak mereka, yang juga dapat menyebabkan surplus anak perempuan atau laki-laki.

"Kita harus hadapi bahwa ada diskriminasi terhadap perempuan, tapi saya tidak merasakan dalam praktik reproduksi yang dibantu teknologi, setidaknya dalam pengalaman saya, ada bias besar terhadap satu jenis kelamin atau yang lain," kata Sauer.

Ada kekhawatiran yang muncul, terutama di beberapa negara Asia, tentang masyarakat yang menilai anak laki-laki lebih dari perempuan.

"Tapi sampai batas tertentu ini bisa menjadi stereotip budaya," kata Brendan Foht, Asisten Editor The New Atlantic, sebuah jurnal yang menerbitkan artikel oleh para ahli dan masyarakat umum tentang isu-isu bioetika.

Bahkan jika pemilihan jenis kelamin ini tidak mungkin condong pada rasio jenis kelamin di Amerika Serikat dalam waktu dekat, ada kekhawatiran filosofis umum bahwa orang tua seharusnya tidak memiliki tingkat kontrol atas anak-anak mereka.

"Pemilihan jenis kelamin ini merusak konsep cinta tanpa syarat dan kewajiban bercinta dengan syarat pada anak menjadi suatu masalah, dalam hal ini, anak laki-laki atau perempuan," kata Foht.

Sauer tidak mengkhawatirkan bahwa pemilihan jenis kelamin akan mempengaruhi bagaimana orang tua mencintai anak mereka.

"Mereka hanya ingin memiliki kesempatan itu. Mereka mencintai anak-anak mereka. Hal ini tidak seperti yang mereka pikirkan bahwa jenis kelamin lebih penting dari segalanya, tapi mereka berpikir, 'Bukankah lebih baik untuk memiliki anak dengan gender ini?'" ucap Sauer.

Pemikiran semacam ini terjadi jika, misalnya, pasangan yang sudah memiliki tiga anak laki-laki dan ingin mencoba untuk memiliki anak perempuan, konsep ini disebut "keseimbangan keluarga."

Mengalihkan Sumber Daya Medis

Saat ini, satu-satunya cara yang dapat diandalkan bagi orang tua untuk keseimbangan keluarga mereka dalam hal jenis kelamin anak-anak mereka adalah melalui program IVF—meskipun mungkin sampai batas tertentu untuk memilih jenis kelamin menggunakan inseminasi intrauterine, dengan memisahkan sperma wanita dan laki-laki. Ini adalah ilmu yang jauh kurang tepat.

"Teknik terbaik adalah sekitar 90 persen sampai 95 persen sukses," tapi ada banyak variasi, kata Sauer. Sebaliknya, keandalan pemilihan jenis kelamin menggunakan IVF adalah sekitar 100 persen."

Namun, ada kemungkinan tidak banyak pasangan yang secara khusus melaksanakan IVF agar dapat memilih jenis kelamin anak mereka. Tapi sulit untuk mengetahui hasilnya dengan pasti. Klinik IVF tidak perlu melaporkan motif klien mereka. Saat ini hanya ada sistem sukarela untuk klinik melaporkan tingkat keberhasilan mereka, dalam hal metrik seperti persentase kelahiran hidup, kata Foht.

"Ini adalah industri nirlaba, jadi jika pelanggan datang dengan beberapa keinginan istimewa untuk IVF, mereka mungkin tidak akan menolak mereka," kata Foht. Namun demikian, beberapa rencana asuransi untuk mencakup IVF, serta pemeriksaan, dan dalam kasus ini itu bahwa mungkin ada kompetisi untuk sumber daya yang terbatas IVF," katanya.

Sejumlah negara, termasuk Inggris dan Kanada, telah menempatkan larangan pemilihan jenis kelamin untuk "kegunaan sosial," sebagai lawan bila digunakan untuk menghindari risiko penyakit terkait seks, seperti sindrom Fragile X, yang mempengaruhi anak perempuan. Namun, ahli etika telah menentang larangan tersebut, dengan alasan bahwa pemilihan jenis kelamin tidak akan menyebabkan ketidakseimbangan gender dalam populasi. (chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER