Singkawang, CNN Indonesia -- Selain memiliki banyak rumah peribadatan Budhha di seluruh penjuru kotanya, Singkawang juga punya banyak warung kopi yang sudah dipenuhi pengunjung sejak pagi.
Tak seperti warung kopi yang biasanya menggunakan tenda dan gerobak dorong, ataupun kedai kopi di kota besar seperti Jakarta yang menawarkan dekorasi dan harga yang mahal, warung kopi di Singkawang memiliki keunikannya sendiri.
Pemilik kedai biasanya membuka usahanya di sebuah rumah toko sederhana. Tidak ada fasilitas internet nirkabel gratis di semua warung kopi Singkawang. Artinya, tidak akan ada pemandangan pengunjung yang asyik sendiri dengan
gadget saat menikmati kopi. Berbincang santai sembari mereguk minuman kopi menjadi pemandangan yang banyak ditemui di kedai kopi di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal menu, kedai kopi Singkawang menawarkan santapan jajanan pasar sebagai paduan kopi hitam, kopi susu ataupun teh susu. Di beberapa warung kopi juga ada yang menawarkan sajian bubur di daftar menu.
Di antara warung kopi yang menjamur di sana, Toko Kopi Nikmat yang terletak di Jalan Diponegoro, disebut-sebut sebagai warung kopi legendaris. Alasannya, warung ini sudah berdiri sejak 1930-an.
Saat ini, warung kopi Nikmat sendiri dikelola oleh generasi ke-tiga. Alang, wanita pemilik toko kopi ini mengaku, warung yang diurusnya saat ini merupakan warisan dari kakek mertua.
"Saya sih tidak tahu persis berdirinya kapan, tapi saya dengar dari kakek, ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Saat masih jajahan Belanda, Inggris, Jepang," kata Alang kepada CNNIndonesia.com.
Dia mengatakan, usia warung kopinya dapat dilihat dari bentuk bangunan yang juga terlihat tua dan usang. Alang mengatakan, sejak bangunan yang ditempatinya itu berdiri, tidak pernah ada renovasi untuk mengubah bentuk aslinya.
Menikmati kopi di toko ini membuat pengunjung merasa masuk ke dalam kota Singkawang tempo dulu. Terlebih, ada beberapa perabot antik yang dipajang di dalam warung.
"Sudah banyak yang
nawar, mau membeli itu, tapi saya tidak mau," ujar Alang menunjuk lemari kaca persegi delapan miliknya.
Sama seperti bangunannya yang masih autentik, Alang juga menjaga racikan kopi asli toko peninggalan orang tua dari keluarga istrinya ini. Dia mengaku tidak pernah mengubah takaran racikan kopi yang disajikannya sekarang.
Soal jenis kopi yang digunakan, Toko Kopi Nikmat hanya menggunakan biji kopi Arabika dan Robusta. Biji itu didapatkannya dari Pulau Jawa, lalu dipanggang dan diolah sendiri sehingga menghasilkan rasa yang berbeda dari warung kopi lainnya.
Salah satu pengunjung bernama Ian mengatakan, rasa minuman kopi di Toko Kopi Nikmat memang nikmat. Ia sendiri paling suka minuman kopi hitam yang tidak disaring.
"Kalau yang disaring dan yang tidak rasanya berbeda. Lebih enak yang tidak disaring," kata Ian.
Sekilas memang tidak ada yang berbeda dengan kopi di Toko Kopi Nikmat. Cara meraciknya pun sama. Tangan lincah sang barista bergerak cepat menuang kopi, gula, dan air mendidih ke dalam cangkir.
Untuk kopi hitam tanpa ampas mereka menyaringnya terlebih dahulu dengan cara menuangkannya ke sebuah teko emas, seperti membuat kopi tarik.
Selain kopi hitam, suguhan lainnya yang memiliki banyak penggemar adalah kopi susu. Rasa kopinya terbilang masih kuat dan pahit dengan susu yang tidak terlalu dominan. Manisnya pun pas.
Jika perut terasa lapar, beberapa kue atau jajanan pasar juga disajikan untuk teman minum kopi. Kuebolu, risoles, bika ambon, dan beberapa lainnya dibuat sendiri oleh Alang dengan dibantu pekerjanya.
Di tempat ini, satu cangkir kopi hitam bisa dinikmati dengan harga Rp8 ribu dan kopi susu Rp12 ribu. Sementara harga kue-kuenya dijual Rp5 ribu per potong.
Tak seperti kebanyakan warung kopi yang buka 24 jam, Toko Kopi Nikmat buka setiap hari mulai pukul 06.00 sampai pukul 15.00. Khusus perayaan Cap Go Meh mereka membuka tokonya sampai pukul 22.00.
"Kalau malam, di kaki lima banyak yang jual. Jadi ya gantian saja, bagi-bagi rezeki," ujar Alang.
Meski terbilang legendaris, ternyata Alang belum tahu apakah warung kopi ini akan dipertahankannya. Alasannya, sejak ditinggal suaminya, Wong Chu Fu alias Atak, sekitar tujuh bulan lalu, dia mengaku kerepotan mengurus sendiri.
Anak-anaknya pun mengaku tidak mau meneruskan usaha warung kopi milik keluarga. Kata Alang, semua anaknya sudah disekolahkan sampai sarjana, pantaslah kalau tak mau mengurus warung kopi.
"Anak-anak tidak ada yang mau
nerusin. Kuliah semua. Dipikir kuliah tinggi-tinggi masa jual kopi. Ya kalau saya sudah tua, waktunya tutup ya tutup saja," ujarnya.
(meg)