Jakarta, CNN Indonesia -- Belasan tahun sudah Lusiana Handoko mengasuh Gevin, anak laki-lakinya yang membutuhkan perawatan khusus sejak bayi. Saat baru berusia satu tahun, buah hatinya itu divonis mengalami autisme. Kenyataan itu harus diterima Lusi, setelah dia menanyakan penyebab lambatnya perkembangan sang anak ke dokter.
Dia menceritakan, kala itu, Gevin sangat lambat saat melakukan kontak mata dan berbicara. Seiring waktu berjalan, Lusi juga menyadari lemahnya perilaku, komunikasi dan interaksi sosial Gevin.
Beberapa tempat terapi pun didatanginya untuk membantu perkembangan anaknya. Namun dia pulang ke rumah dengan murung karena sebagian hatinya tidak bisa membayangkan seperti apa masa depan buah hatinya itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya melihat banyak anak yang punya gangguan perkembangan lain, seperti di atas kursi roda, menggunakan kaca mata setebal pantat botol. Saya bertanya-tanya, inikah autis? Saya pulang dan menangis, tak terbayang Gevin nanti seperti apa," kata Lusi bercerita saat peringatan Autism Awareness Month di Grand Indonesia, Rabu (7/4).
Pertemuan demi pertemuan pun didatanginya, hingga membawa Lusi bertemu dengan Ketua Yayasan Autisma Indonesia, Melly Budhiman. Sejak saat itu, pengetahuan tentang penanganan anak autis pun didapatinya. Kini, Gevin telah duduk di bangku kelas XI salah satu Sekolah Menengah Umum di Jakarta.
Sebelas tahun yang dilalui Gevin hingga kini bisa duduk di bangku SMU pun bukan perjalanan yang dilalui dengan mudah. Keinginan Lusi untuk memberikan hak anaknya mendapat pendidikan malah sering kali terjegal di institusi pendidikan itu sendiri.
Dia harus 'nomaden' dalam memasukkan Gevin dari satu sekolah baru ke sekolah baru lainnya, demi pendidikan sang anak. Dia mengaku sulit menemukan sekolah di Indonesia yang bersedia menerima murid autisme. Hal ini berbeda ketika dia sempat tinggal di Jerman. Di Negara Panser itu, anak autis dapat lebih mudah diterima.
"Banyak sekolah menolak karena begitu mereka menerima anak autis, maka mereka harus menyediakan dukungan pembelajaran dan memberikan akomodasi pembelajaran lebih kepada anak autis dibandingkan yang lainnya," kata Lusi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Menurutnya, besar kemungkinan, penolakan sekolah-sekolah di sini terpaksa dilakukan karena setiap pekannya perlu waktu khusus untuk melatih anak autis belajar mengorganisir tugas rumah mereka.
Gevin sendiri kerap diberikan tempat khusus saat ujian. Sebuah ruangan yang hanya berisikan dirinya dan pengawas diberikan, lantaran konsentrasinya yang sangat mudah terganggu. Tak hanya itu, penggunaan komputer juga diberikan kepada anaknya, karena tulisan tangan yang sulit dibaca.
Sayangnya, kesempatan yang diberikan oleh sekolah malah sering menimbulkan kecemburuan dari orang tua murid yang lain. Lusi menilai, banyak orang tua yang tidak memahami kondisi anak autis.
"Diskriminasi yang paling sering dirasakan itu di sekolah. Dari segi pendidikan, sulit sekali anak autis diterima karena citra mereka sebagai trouble maker," kata Lusi. Citra 'pembuat onar' ini muncul karena beberapa anak autis tak bisa mengendalikan diri.
"Pernah ada anak teman saya didemo oleh orang tua lain yang menghadap pihak sekolah bilang, 'pilih dia (anak autis, red) atau anak kami'. Ada juga pernah orang tua anak normal minta sebuah sekolah mengeluarkan anak autis tapi bersyukur ditolak oleh sekolah itu," kata Lusi.
Meski begitu, Lusi bersyukur bahwa anaknya tak pernah mengalami pelecehan seperti pemukulan ataupun olok-olokan. Dia pun sering kali memberi tahu Gevin bahwa tak semua lingkungan dapat menerima kondisinya.
Di sisi lain, Melly, yang sudah mahfum dalam menghadapi situasi penanganan anak autis mengungkapkan, hingga kini masih ada kasus anak autisme yang dibully oleh teman sekolahnya, ataupun kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak autis dari kawan sebayanya.
"Ada kasus anak autisme yang sudah sekolah hingga duduk di bangku SMK. Namun tiba-tiba dibully oleh tiga temannya, dipukul, dijotos, bahkan sampai gendang telinganya pecah. Saking traumanya anak autis itu, ia enggan sekolah kembali. Padahal potensinya sangat bagus di masa depan. Saat ini memang penerimaan masih rendah, buktinya masih jadi bahan olok-olokan," katanya.
(meg)