Jakarta, CNN Indonesia -- Ada banyak cara mengedukasi masyarakat. Tapi, umumnya edukasi dilakukan melalui kampanye atau penyuluhan. Sebuah waralaba restoran steak punya cara unik untuk berbagi ilmu pada konsumen, bukan hanya soal menu, tapi juga kisah di balik menu tersebut, sekaligus pengetahuan umum lainnya.
Restoran tersebut adalah Outback Steakhouse. Di Indonesia, Outback Steakhouse sudah cukup lama berkiprah di ranah kuliner. Pertama kali hadir pada 2001, Outback Steakhouse bertahan sebagai salah satu restoran steak dengan sejarah terpanjang di Indonesia.
Selama lebih dari 15 tahun, Outback termasuk salah satu restoran yang membuat steak lebih akrab di lidah masyarakat. Hal itu, sedikit banyak didukung oleh kampanye unik yang mereka sebut Steakopedia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menggabungkan nama ‘steak’ dan ‘ensiklopedia’, restoran waralaba asal Amerika Serikat itu terus membagikan pengetahuan umum tentang steak kepada konsumen.
Di program tersebut, konsumen bisa mendapatkan berbagai pengetahuan soal steak, dari tingkat kematangan atau
doneness, berbagai macam tipe dan potongan daging, hingga cara memasak steak yang baik dan benar.
CNNIndonesia.com berkesempatan mendapatkan pengetahuan soal steak itu dari pemilik waralaba Outback Steakhouse Indonesia, Prasoon Mukherjee.
“Sebenarnya, dari soal cara makan, masyarakat Indonesia masih sering salah kaprah soal steak,” kata Prasoon, di Outback Steakhouse Lippo Mall Puri St. Moritz, Puri Indah, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Kegemaran orang Indonesia memakan steak dengan didampingi saus sambal, menurut Prasoon, justru menghilangkan citarasa steak itu sendiri.
“Satu hal yang selalu saya lihat adalah orang Indonesia tidak bisa lepas dari saus sambal, bahkan saat makan steak. Itu adalah hal yang salah,” ujarnya.
Rasa saus sambal yang tajam akan mengalahkan rasa daging, sehingga kelezatan optimal dari steak tidak bisa dicicipi.
Selain itu, di Indonesia, steak bukanlah makanan sehari-hari. Bahkan bagi banyak keluarga, steak masih dianggap makanan kaum borjuis. Hal itu tentu saja dipengaruhi harga steak yang terbilang mahal.
Outback punya cara tersendiri untuk membuat steak lebih dekat di lidah masyarakat Indonesia. “Steak memang makanan mahal. Di beberapa restoran, steak berkualitas harganya bisa jutaan rupiah, tapi kami mencoba memberikan pada masyarakat Indonesia, kualitas yang sama, namun dengan harga yang lebih terjangkau,” terang Prasoon.
Dari segi bisnis, itu memang bukan langkah terbaik. Terbukti, selama 15 tahun beroperasi, Outback hanya punya empat cabang di Indonesia. Keempatnya ada di Jakarta.
Namun, seiring dengan pesatnya pertumbuhan kelas menengah di Indoneia, Prasoon optimistis restorannya bisa terus berekspansi. “Saya melihat perkembangan yang baik, terutama dengan pertumbuhan kelas menengah. Saya bisa melihat penambahan 6 restoran Outback dalam lima tahun ke depan,” imbuhnya.
 Outback Steakhouse menggunakan pemanggang berjenis flat top untuk memberikan steak terbaik sesuai keinginan konsumen. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami) |
Taman Ria, Amerika dan JakartaAda hal unik mengenai hadirnya Outback Steakhouse di Indonesia. Prasoon mengatakan, waktu itu dia tengah menindaklanjuti proses kerjasama proyek Taman Ria Senayan di Negeri Paman Sam, dan direkomendasikan mencicipi Outback Steakhouse, waralaba steak yang cukup sukses di Amerika Serikat. Outback telah berdiri di AS sejak 1988.
“Tiga hari saya mencoba untuk makan di sana dan tidak berhasil,” kata Prasoon. “Hari pertama saya datang, reservasi sudah penuh, begitu juga dengan hari kedua dan ketiga. Akhirnya saya memutuskan membeli lisensi Outback untuk saya bawa ke Asia Tenggara, tempat saya tinggal.”
Tapi, tentu tidak semudah itu membawa sebuah waralaba besar seperti Outback Steakhouse ke negara dengan budaya dan cara makan yang sama sekali berbeda. Prasoon pun sempat mendapat penolakan dari pihak Outback.
Namun, Prasoon tidak putus asa. Dia melakukan pendekatan personal pada salah satu pendiri Outback Steakhouse, Chris T. Sullivan, hingga akhirnya berhasil.
 Outback Steakhouse pertama kali datang ke Jakarta pada 2001 dan kini sudah 15 tahun eksis di dunia kuliner Tanah Air. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami) |
“Outback tidak siap datang ke Asia, terutama Asia Tenggara, tapi saya terus berusaha. Sampai akhirnya, Chris Sullivan memberi saya lisensi Outback Steakhouse untuk Asia Tenggara,” terangnya.
Prasoon menambahkan, restoran steak waralaba asal Tampa, Florida, tersebut untuk pertama kali dibuka di Singapura dan restoran kedua, dibuka di Jakarta, pada tahun 2001.
“Saya sangat cinta Indonesia. Itulah kenapa Jakarta adalah target pertama saya bagi Outback, setelah Singapura,” sebut pria yang gemar mengenakan kemeja batik tersebut.
Belajar Konsep Kekeluargaan dari IndonesiaSejak 2001, terhitung sudah 15 tahun Outback meramaikan dunia kuliner Indonesia. Satu hal yang harus digarisbawahi, bukan hal yang mudah mempertahankan eksistensi sebuah restoran selama lebih dari satu dekade. Tapi, Outback justru bisa terus bertahan, kendati banyak restoran steak baru bermunculan, meskipun banyak juga dari mereka yang akhirnya gulung tikar.
Menurut Prasoon alasan kekuatan eksistensi Outback adalah karena kualitas yang tidak berubah.
“Dari awal kami membuka restoran, tidak ada yang berubah dari segi kualitas. Daging yang kami sajikan tetap yang terbaik, tidak ada pengurangan porsi, meskipun tentu saja, ada penyesuaian harga,” tuturnya.
Soal daging, Prasoon mengatakan restorannya tetap setia menggunakan daging sapi impor asal Australia dan Amerika Serikat, dengan kualitas tinggi.
 Prasoon Mukherjee, pemilik waralaba Outback Steakhouse di Indonesia. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami) |
Selain itu, untuk pelayanan, Prasoon mengatakan, semua restoran Outback Steakhouse punya kebijakan ‘three table station’, yakni setiap pelayan hanya akan melayani 3 meja. Sehingga pelayanan yang diberikan tetap prima.
Kemudian, Prasoon juga mengembangkan sikap kekeluargaan di setiap restorannya. “Kami tidak menyebut manager sebagai karyawan, melainkan partner. Itu juga yang membuat karyawan kami loyal,” sebutnya.
Prasoon mengatakan, suasana kerja kekeluargaan itu dia pelajari dari Indonesia. “Ada kolega saya, orang Indonesia, yang lebih memilih kehilangan harta daripada memecat ratusan karyawannya saat krisis moneter tahun 1997 lalu. Dari situlah saya belajar tentang pentingnya kekeluargaan di lingkungan perusahaan,” kata dia.
Outback Steakhouse berada di bawah payung Universal Success Enterpise Limited, perusahaan multinasional yang membawahi beberapa bidang. Uniknya, Outback adalah satu-satunya anak perusahaan yang punya jalur kontras. Prasoon menyebut Outback sebagai ‘anak perempuan’ dibandingkan seluruh lini usaha lainnya yang bersifat maskulin, seperti energi, properti dan keuangan.
“Kenapa saya menyebut anak perempuan, karena lini usaha ini sangat lembut dibanding lainnya. Ini anak perusahaan yang paling kecil, namun punya pengaruh besar,” kata Prasoon.
(les)