Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa yang tak miris kalau disuguhi video tentang Raja Ampat, yang dari jauh begitu memukau, tapi begitu gambar diambil dari jarak lebih dekat ternyata para
traveler atau wisatawan muda menikmati laut dengan
snorkeling sambil berjalan sehingga menginjak-injak terumbu karang.
Selain itu, jangkar dan tali dari perahu yang membawa mereka juga ikut nongkrong di karang dan pasti akan menggaruk terumbu-terumbu karang itu sewaktu jangkar diangkat.
Ada lagi tentang Argapura di Indramayu, yang terasering kebun bawangnya begitu cantik dan
instagrammable. Tapi begitu terkenal sedikit, pengunjung lain ikut menyerbu hingga menginjak-injak tanaman bawangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau mau jujur, aktivitas dan euforia
traveling memang menyumbang lebih banyak kerusakan lingkungan dibanding tinggal di rumah atau bekerja ke kantor. Bukankah saat
traveling kita memakai pesawat, kapal laut, kereta, mobil, atau motor, yang semuanya menyumbang emisi gas buang perusak atmosfer bumi?
Tak perlu menghitung berapa konsumsi bahan bakar pesawat-pesawat pembawa para
traveler itu.
Kalau di Jakarta, cukup buka aplikasi FlightRadar24 di
smartphone dan lihatlah, langit di atas kita setiap jengkalnya dipenuhi pesawat!
Tapi
traveling adalah hak dan kebutuhan manusia (“Saya traveling pakai uang sendiri, kenapa kamu melarang-larang?”) dan juga manfaat ekonominya luar biasa.
Tak heran jika pemerintah malah membuka pintu bebas visa selebar-lebarnya, agar target 12 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 260 juta perjalanan wisatawan domestik tahun ini bisa tercapai.
Masalahnya, karena hal ini tidak diiringi edukasi yang cukup kepada para
traveler muda dan pelaku wisata, kerusakan lingkungan tak terhindarkan.
Bagaimana kalau satu gunung yang hanya punya beberapa MCK dan tanpa sumber air, tiba-tiba saat libur panjang didatangi 3.500 pendaki? Semuanya membawa botol-botol air, makanan kemasan, dan begitu pulang akhirnya meninggalkan berton-ton sampah serta…
human waste.
Minimnya edukasi kepada para
traveler muda –entah melalui iklan layanan masyarakat di televisi atau pengumuman dari kokpit pesawat– untungnya ‘ditambal’ oleh para
tour operator yang berbasis komunitas.
Ada komunitas yang memberlakukan hukuman denda dan
blacklist ke peserta yang membuang sampah sembarangan, dan ini contoh yang bagus untuk diteruskan.
Edukasi kepada masyarakat lokal, tentu harus banyak dilakukan oleh Pemda setempat, yang sudah merasakan manisnya pendapatan dari pariwisata.
Bagaimana kalau
traveler-nya pintar, tapi tukang perahu lokal masih melempar jangkar ke terumbu karang? Bagaimana kalau di sebuah pulau diperkenalkan wisata bersepeda, tapi kemudian penduduknya mulai memasukkan motor, bentor, hingga jetski?
Sekarang ini, sekitar 1 miliar orang di dunia
traveling setiap tahun. Pada 2020, angka itu diperkirakan menjadi 1,6 miliar orang per tahun. Usia memulai
traveling pun makin muda. Dulu umumnya di usia 30-an, sekarang banyak sekali
traveler usia belasan.
Mengharapkan kerusakan lingkungan akan berkurang, sepertinya agak berlebihan, kalau upaya edukasi tidak ditingkatkan. Dan tentu saja, para wisatawan sendiri harus belajar meningkatkan pengetahuan dan sikapnya terhadap lingkungan.
Traveling tidak cukup hanya karena punya uang dan berani jalan. Sekurangnya, kita, para
traveler, menyadari bahwa aktivitas
traveling itu menyumbang pada kerusakan lingkungan, dan berusaha semaksimal mungkin meminimalkan dampak buruk itu.
(yns)