Air dan Senyuman Para Ibu di Pesisir Sumba

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 03 Jun 2016 13:07 WIB
Para ibu di Desa Palanggai, Kabupaten Sumba Timur, NTT, kini tersenyum. Tak perlu lagi berjalan puluhan kilometer demi mencari air.
Warga Desa Palanggai yang kini tersenyum karena akses air bersih sudah dekat. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Palanggai, CNN Indonesia -- Rekahan senyum menghiasi wajah para ibu Desa Palanggai, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka tersenyum karena satu hal, kini mereka dapat menikmati air bersih dengan lebih mudah.

Kekeringan menjadi hal yang nyaris dianggap lumrah di kawasan selatan Indonesia ini. Jauh dari kemegahan ibu kota dan Pulau Jawa, Kabupaten Sumba Timur masih harus berjuang untuk air minum yang layak konsumsi.

Catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010, hanya ada 40 persen rumah tangga di NTT yang mendapatkan akses air bersih. Sisanya, mereka harus berjuang setiap hari selama bertahun-tahun, berjalan belasan hingga puluhan kilometer, demi air bersih. Termasuk di Desa Palanggai.
Penduduk menikmati air bersih yang kini mengalir di dekat pemukiman di Desa Palanggai, Sumba Timur. Sebelumnya, penduduk harus berjalan puluhan kilometer demi air bersih. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Desa di selatan Kabupaten Sumba Timur ini telah bertahun-tahun mengalami kesulitan air bersih. Masyarakatnya yang kebanyakan petani rumput laut, harus berjalan kaki hingga 12 kilometer menjauh dari bibir pantai, ke sebuah mata air di tengah sabana tandus Sumba, demi menimba air lalu menampungnya di dalam jeriken.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu ibu yang setiap hari harus mengambil air adalah Jati Hamu. Setiap pagi, Jati berjalan selama dua jam menempuh jarak 12 km, mengangkut empat jeriken berukuran lima liter. Air yang tak seberapa bening itu digunakan Jati dan ibu-ibu lainnya untuk memasak.

Tapi, kegiatan mengangkut air itu bukan hanya sekali dilakukan. Di sore hari, mereka kembali lagi ke mata air untuk mengambil cadangan air minum di malam dan esok hari.

Total, jarak yang harus mereka tempuh demi air per harinya adalah 48 kilometer. Sementara dari segi waktu, setiap hari, mereka harus menyediakan setidaknya 6-8 jam, demi mengangkut air.

Bukan urusan mudah membawa empat jeriken air berukuran lima liter. Karenanya, masyarakat Desa Palanggai terbiasa hidup hemat air. Air lebih banyak disimpan untuk minum dan memasak. Urusan membersihkan diri, berada di prioritas nomor buntut.

"Selama ini bisa habis ambil rumput laut, kami tidak mandi," cerita Jati, sembari menyusui sang anak yang masih balita saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (2/6).

Mandi adalah keistimewaan bagi penduduk Desa Palanggai. Cadangan air yang mereka miliki hanya cukup untuk minum dan masak. Mengelap muka adalah definisi membersihkan diri bagi mereka.

Kondisi tersebut telah berlangsung bukan hanya bertahun-tahun, bahkan turun-temurun. Kulit legam, lengket dan kusam adalah hasilnya. Meskipun demikian, penduduk desa Palanggai jauh dari penyakit.

"Tidak ada penyakit juga di sini, karena sudah turun-temurun kondisi seperti ini," kata Benyamin Hali, ketua Rukun Tetangga 14, tetua Desa Palanggai.
Masyarakat Desa Palanggai menikmati air bersih dari pompa air panel surya. Pompa tersebut dibuat untuk mengatasi masalah kekeringan yang ada di Sumba Timur. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Air Bersih vs Rumput Laut

Seiring berjalannya waktu dan teknologi yang menyusup masuk ke Desa Palanggai, akses air bersih di desa berangsur-angsur membaik. Jika dulu para ibu harus berjalan puluhan kilometer, kini mereka bisa diantar menggunakan sepeda motor untuk mengambil air.

"Dahulu sebelum mengangkut dengan motor, ya ibu-ibu berjalan kaki sembari membawa jeriken berisi air di pundak, kepala, dan tangan," ujar Maria, salah satu penduduk setempat. "Kalau anak sudah bisa bawa jeriken, ya diajak.”

Sebenarnya sudah ada yang menawarkan jasa air bersih dari sebuah perusahaan kepada para penduduk. Air bersih tersebut dibanderol harga Rp5000 per jeriken.

Jika dikalkulasi, setiap rumah tangga, setidaknya harus mengeluarkan Rp40 ribu per hari hanya untuk air. Perhitungannya, empat jeriken di pagi hari dan empat jeriken lainnya untuk cadangan air malam hari.

Bagi penduduk Desa Palanggai, uang Rp40 ribu per hari terbilang besar. Pendapatan utama penduduk hanyalah dari rumput laut.

Setiap harinya, penduduk bisa memanen lima hingga 10 kilogram rumput laut yang kemudian dijual seharga Rp6500 per kilogram. Artinya, pendapatan per hari para petani ini berkisar antara Rp32,5 ribu hingga Rp65 ribu. Dengan dipotong biaya air Rp40 ribu, hanya tersisa Rp25 ribu untuk makan, dan biaya rumah tangga.
Panel surya menjadi solusi sumber energi karena iklim Sumba Timur yang terik dan berlimpah cahaya matahari. Pompa tersebut dibuat untuk mengatasi masalah kekeringan yang ada di Sumba Timur. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Solusi Matahari

Secara alami, kawasan Nusa Tenggara Timur memang memiliki iklim sabana yang kering. Kondisi ini diperparah dengan semakin rancunya perubahan musim hujan dan kemarau akibat perubahan iklim.

Badan Dunia untuk Pengembangan (UNDP) mencoba mencari solusi bagi akses air bersih di kawasan NTT, termasuk Desa Palanggai. Badan PBB tersebut bekerjasama dengan pemerintah setempat juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kemudian membentuk program Strategic Planning and Action to Srenghthen Climate Resillience of Rular Communities (SPARC). Melalui SPARC, beragam rekomendasi hasil kajian lalu diwujudkan dengan bantuan dana donasi dari berbagai pihak termasuk masyarakat.

"Sebenarnya sebelum SPARC, banyak yang sudah melakukan kajian tentang kekeringan ini. Namun entah mengapa tidak terwujud," kata Umbu Bahi, koordinator SPARC untuk Kabupaten Sumba Timur saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, di sela-sela kunjungan UNDP ke Sumba Timur.

Kali ini, SPARC mendatangkan pompa dengan tenaga surya untuk memudahkan penduduk mendapatkan air. Dengan mengebor tanah kapur Sumba hingga kedalaman 72 sampai 160 meter di bawah tanah, air bersih pun bisa dirasakan penduduk di permukaan. Dan masyarakat pesisir pantai pun hanya perlu berjalan 300 meter menuju sumber air. Bahkan, pipa telah terhubung sampai ke dekat pemukiman.

Kondisi Sumba yang terik diakui Umbu menjadi alasan menggunakan panel surya sebagai sumber energi menggerakkan pompa. Terik matahari Sumba bahkan dapat menaikkan suhu hingga 40 derajat Celsius di puncak musim kemarau. Tak heran beberapa penduduk yang tak mandi ketika gerah hanya cukup berjemur dan kemudian keringat lenyap.

Selain itu, menurut Umbu, ada mimpi dari pemerintah menjadikan Sumba sebagai percontohan energi terbarukan, salah satunya adalah panel surya. Menurut data SPARC, sejak 2015 ada sembilan desa yang telah dibantu mendekatkan sumber air, dan kemudian menyusul 24 desa berikutnya. Program ini juga berlangsung di Kabupaten Manggarai dan Sabu Raijua, NTT.

Jika sebelumnya warga harus membayar Rp5000 per jeriken demi air bersih, kini setiap keluarga hanya dikenakan Rp10 ribu untuk biaya perawatan per bulannya.

Dengan ini, masyarakat dapat menggunakan uang untuk keperluan lainnya. Selain itu, keberadaan pompa ini membuat warga menjadi lebih produktif. Selain itu, warga pun bisa bercocok tanam, karena ada pengairan bagi sawah dan ladang.

"Sejak ada pompa , semoga membuat penduduk lebih betah di sini dan dapat mencari penghasilan berupa hasil laut lebih optimal karena air sudah dekat, agar kesejahteraan meningkat,” harap Maria.

Di sisi lain, Maria dan Jati pun punya alasan lain yang membuat mereka selalu tersenyum. "Iya, sejak ada air sekarang mandi,” celetuk Jati, yang kemudian disambut tawa teman-temannya. (les)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER