Jakarta, CNN Indonesia -- Masa remaja adalah masa transisi seseorang dari tahap anak-anak menuju tahap dewasa. Untuk itu, seorang remaja tidak bisa disebut dewasa, pun disebut anak-anak.
Berdasarkan keterangan
WHO, remaja adalah orang yang berada pada rentang usia 10-19 tahun. Pada rentang usia tersebut, remaja biasanya tengah mencari jati diri.
Pada 2016 ini, kelompok remaja diisi oleh para generasi millennial atau yang biasa disebut generasi Z, yaitu generasi yang lahir pada akhir '90-an hingga 2000-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pakar informasi teknologi (IT), Nukman Luthfie, generasi millennial ini lahir ketika internet sudah mulai mewabah. Hal ini membuat generasi Z disebut-sebut sebagai generasi digital.
Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X dan generasi Y, remaja millennial ini memiliki hidup yang 'sangat digital.'
"Generasi lain (X dan Y), sumber informasinya dari televisi, ke-dua dari
source engine, baru yang terakhir media sosial. Kalau generasi Z sebaliknya, dari media sosial, televisi, baru
search engine. Generasi Z ini tidak baca koran, kurang baca majalah, kurang
nonton televisi," ungkap Nukman kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu, Nukman juga mengatakan bahwa generasi ini bisa dengan mudah mengadopsi tren yang ada di dunia, lantaran akses internet yang sangat mudah. Terlebih lagi setelah Facebook dan Twitter, media sosial seperti Instagram dan Snapchat kini kian digandrungi remaja.
Eksistensi remaja di dunia maya sendiri juga beragam. Nukman membaginya dalam dua kategori:
Creator dan
Conversationalist.
Creator adalah orang yang membuat konten tertentu di blog, situs web, atau pun akun YouTube.
"Mereka punya akun YouTube enggak hanya untuk lihat video. Mereka bisa pamer karya-karya mereka," katanya.
Sedangkan,
Conversationalist adalah orang yang lebih senang menggunakan Facebook, Path, dan Twitter untuk bercakap-cakap.
"Meski begitu, ada sebagian pengguna yang berkarya, dengan cara kultwit [kuliah Twitter]
, membuat puisi, membuat tulisan di
notes Facebook, itu memang
creator. Tapi sebagian besar
conversationalist," ujarnya.
Ia kemudian menilai bahwa generasi Z berada di kategori
creator, karena saat ini banyak ruang yang bisa digunakan untuk berkreasi, seperti Instagram.
Terlebih lagi, faktor teknologi seperti ponsel pintar, bisa memudahkan generasi Z untuk membuat foto, video dan
editing.
"Maka dari itu generasi Z ini enggak lagi ingin jadi pegawai. Mereka cenderung
entrepreneur atau
self-employee. Banyak hal kreatif yang mereka ciptakan."
Memang, pada kenyataannya saat ini sudah banyak remaja yang kreatif membuat konten sosial medianya menjadi menarik. Entah itu tutorial merias wajah, memasak, membuat prakarya, menampilkan hasil fotografi, atau memamerkan lagu terbaru.
Seluruh konten yang diunggah ke sosial media tersebut, kata Nukman, sama dengan artinya menyebarkan karya ke ruang publik.
"Makanya ada hal yang enggak boleh dilanggar, yaitu etika sosial. Walaupun etika sosial itu bisa diperdebatkan," katanya.
Jika etika tersebut dilanggar, maka konsekuensi pun harus diterima, seperti dicaci dan dikucilkan. Hal lain yang tak boleh dilanggar adalah hukum.
"Bermain sosial media juga harus paham hukum-hukum, seperti undang-undang pornografi dan ITE."
Menanggapi kegemaran remaja yang kerap
curhat di sosial media, Nukman berujar, "Saya enggak setuju dengan
curhat, karena banyak yang bisa
dijadiin konten di media sosial."
"Misalnya, hobi, apa yang kita senangi, apa keahlian kita, apa karya kita," ia menambahkan. "Jadi
ngapain curhat-curhat? Media sosial itu bukan buku harian, kecuali kamu membuka ruang diskusi."
Nukman pun menjelaskan ruang diskusi yang ia maksud.
"Misalnya diskusi tentang putus pacar. 'Kalian kalau putus gimana
sih?' Bukan yang
nangis-nangis gitu. Sesuatu yang privasi jangan dibuang ke publik, jangan disamakan privat dengan publik. Itu sama saja seperti putus lalu teriak-teriak ke orang sekampung," ujarnya.
Selain itu, Nukman juga melihat bahwa remaja sekarang cenderung tidak menyadari bahwa apa yang mereka unggah bukan lagi hal yang bisa dikonsumsi publik.
"Mereka tahunya ini akun sendiri, 'terserah mau apa, kalau enggak suka ya
unfollow saja,'" kata Nukman.
Namun, tak semua generasi Z mengumbar kehidupan pribadinya ke ruang publik. Ada pula yang menggunakan media sosial dengan kritis.
"Kita enggak bisa saklek melihat remaja," kata Nukman. Hal itu dikarenakan, pikiran remaja yang memang sangat beragam. Tak hanya mengamati, remaja pun juga berkarya.
"Remaja tak sekadar sebagai
follower, tapi juga kreator. Beda dengan remaja sebelumnya."
Untuk mengantisipasi pembuatan konten yang tak pantas, Nukman yang juga memiliki anak seusia remaja, memberikan sejumlah tips.
"Boleh pakai ponsel setelah masuk SMP, boleh punya media sosial setelah umur 13 tahun," katanya. Namun itu tak dilepas begitu aja. Ia tetap mengawasi.
"
E-mail saya yang buat, jadi saya tahu
password-nya juga. Dia [anak] juga tahu. Jadi kalau dia ubah
password, saya juga tahu. Ponsel juga begitu," ujarnya.
(meg/vga)