Jakarta, CNN Indonesia -- Seindah apa pun momen pernikahan, bakal menguap begitu saja bila tanpa dokumentasi foto dan video. Fotografi menjadi satu-satunya elemen pernikahan yang abadi: dipajang dalam kurun waktu lama.
Sementara elemen lain, macam busana dan cincin, setelah dipakai saat hari-h mungkin hanya menjadi penghuni lemari. Apalagi jika bobot tubuh kemudian membengkak, busana dan cincin tidak mungkin bisa dikenakan lagi, sekalipun hanya untuk iseng bernostalgia.
Berbeda halnya dengan foto dan video yang dilihat lagi dan lagi, sekalipun momennya sudah lewat berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun lalu. Mengingat sifat langgengnya, maka rantai pendokumentasian perlu dirancang dan dieksekusi secara cermat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai langkah awal, calon pengantin (atau orang tuanya) bisa memilih fotografer dan videografer, baik yang mengibarkan bendera independen maupun komersil. Berbeda bendera, maka berbeda pula harga paket foto dan video serta hasil akhirnya.
“Pendekatan fotografer independen lebih intim, karena biasanya sudah saling kenal dengan klien [calon mempelai pria maupun wanita],” kata fotografer independen Widya Sartika Armin kepada CNNIndonesia.com, di Jakarta, belum lama ini.
Meski begitu, bukan berarti fotografer komersil tidak memiliki kedekatan yang sama dengan klien. Menurut Indra Leonardi dari studio foto legendaris King Foto, interaksi memang perlu dijalin dengan klien untuk mengetahui selera visual yang diinginkan.
“Kami mengadakan beberapa kali
technical meeting dengan klien [calon pengantin] untuk memberikan usulan dan mendapatkan masukan [visual] apa yang disukai dan tidak disukai,” kata Indra kepada CNNIndonesia.com via sambungan telepon, baru-baru ini.
Diakui Indra, kedekatan dengan klien justru menjadi tantangan tersendiri. Tak jarang, klien meminta ini itu lantaran merasa akrab dengan tim King Foto. Indra dan tim pun berusaha menangani permintaan klien dengan hati-hati agar hasilnya maksimal.
“Wajar saja bila klien banyak permintaan. Justru di situ letak tantangannya,” kata fotografer yang juga mengibarkan bendera independen di luar King Foto. “Kami memikirkan cara untuk menghasilkan foto terbaik sesuai keinginan atau masukan dari klien.”
Setiap klien memiliki karakter dan selera berbeda. Melalui technical meeting, perbedaan itu diselaraskan agar terbangun konsep seragam antara klien dengan tim King Foto. Misalnya, menentukan
style shot, formal maupun kasual, juga warna foto.
Soal warna, dikatakan Indra, hitam putih masih menjadi favorit, begitu warna-warni natural. “Sephia sudah berkurang peminatnya,” kata Indra. “Klien lebih suka hitam putih seperti [foto] jaman dulu. Mereka juga suka foto yang
colorful dan natural.”
Menurut Indra, selera visual pasangan masa kini sangat dipengaruhi gaya hidupnya. Rata-rata calon mempelai mendambakan imaji mereka simpel dan minimalis. Posenya serba natural, memperlihatkan kedekatan personel, sekaligus gaya hidup mereka.
Jikapun tidak memiliki ide atau selera sendiri, mereka bisa mengeksplorasi internet untuk mendapatkan inspirasi. Tapi sebanyak-banyaknya inspirasi, klien tetap harus mempercayakan ‘mata fotografer’ yang terbiasa mengutak-atik visual.
“Kadang kami tak cuma berembuk dengan calon pengantin dan keluarga, juga dengan perias dan penata dekor,” kata Widya. “Kami meminta mereka tidak memasang sesuatu yang menghalangi jatuhnya cahaya di wajah pengantin, supaya hasil foto tidak belang.”
Setelah pesta pernikahan usai, pekerjaan fotografer masih belum selesai. Mereka harus merapikan hasil foto, mencetak dan menyusunnya dalam album foto yang belakangan ini wujudnya semakin beragam, juga dihiasi grafis dan tulisan menarik.
Soal cetak foto, Indra memastikan King Foto menyanggupi ukuran lebar hingga sekitar 1,5 meter. Meski studio fotonya yang didirikan orang tuanya pada 1971 terus berkembang canggih dan terkenal, diakui Indra, pembelajaran tidak pernah usai.
“Tren terus berganti, cepat sekali. Supaya bisa menjalankan bisnis, kami harus terus belajar. Ini penting, agar kami tidak ketinggalan,” kata pria yang tengah menyiapkan buku seni. “Karena fotografi bukan sekadar klik, tapi perpaduan seni dan teknologi.”
(vga/vga)