-- Gelombang presekusi yang dikenal 'The Ahok Effect' itu muncul terutama setelah Ahok dipidana.
mengenai seorang anak berusia 15 tahun yang tengah dikerumuni warga beredar di internet.
Dalam video tersebut, anak ini disebutkan warga telah melakukan penghinaan terhadap ulama dan organisasi Islam. Anak ini dikerumuni oleh warga yang diduga merupakan anggota ormas Front Pembela Islam di Cipinang Muara.
Persekusi terhadap anak oleh satu komunitas tertentu dalam masyarakat kini tengah marak. Dari kaca mata orang tua, tugas penting sebagai pemberi mentor atau arahan pertama kepada anak-anak harus benar-benar dijalankan. Terutama bagi anak yang sedang menjalani masa remaja, periode transisi dari anak ke tahap awal dewasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arahan pertama dimulai dari penentuan orang tua akan sekolah atau pendidikan anak dimana orang tua menunjukkan sikap selektif dalam memilih sekolah bagi anak-anak mereka.
Salah satunya Olga Batti, ibu dari tiga orang anak yang sudah beranjak remaja ini mengatakan penting untuk menciptakan rasa aman bagi anak. Salah satunya dengan memilih sekolah yang baik.
"Saat memilih sekolah, saya telah menentukan kriteria yang saya anggap baik. Sekolah yang saya pilih saya anggap mengajarkan disiplin yang baik pada anak, program belajar dan ekstrakurikuler tertata dengan baik, (serta) belajar tentang akhlak diprioritaskan," katanya saat dihubungi
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Jumat (2/6).
Selain itu, lanjutnya, anak dibebaskan untuk mengikuti kegiatan sekolah sesuai dengan minat. Ia mengarahkan sang anak memilih ekstrakurikuler sesuai minta mereka misal komputer atau olah raga. Harapannya, energi para remaja yang begitu besar ini bisa tersalurkan dalam kegiatan yang positif.
"Jadi mereka tidak akan kepikiran untuk hal-hal negatif karena sudah lelah dengan aktivitas positif," tambahnya.
Dengan tambahan pendidikan yang baik, anak pun bisa menjadi lebih bertanggungjawab dalam bersosialisasi. Baik itu bersosialisasi langsung dengan teman dan lingkungannya, tetapi juga dalam media sosial, termasuk memberi komentar atas unggahan mereka.
Layaknya kebanyakan ibu, Olga tidak membatasi pergaulan anak-anaknya, dan kebetulan sang anak lebih memilih bermain game online ketimbang membuka media sosial.
"(Namun) dari kami orang tua selalu menyarankan, apa yang tidak ingin orang lain perbuat ke kamu, ya jangan lakukan (termasuk memberi komentar melecehkan lewat media sosial)," katanya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Juliana Tamara, seorang ibu yang memiliki anak yang bersekolah di sekolah yang mayoritas muridnya memeluk agama yang berbeda dengannya. Ia pun kerap mengajarkan anak mengenai pentingnya bertoleransi dalam keragaman.
"Saya ingatkan padanya jika ia berada dalam komunitas yang
mostly berbeda kepercayaan, jadi tidak dapat terhindarkan akan ada gesekan. Entah itu ledekan atau kadang pelecehan. Saya pun sarankan dia untuk tidak terbawa emosi. Tidak usah dibalas atau tanggapi. Buktinya, sampai sekarang, ia punya teman dengan beragam latar belakang yang memang tulus bermain dengannya," terang ibu seorang remaja yang kini menginjak SMU itu kepada
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat.
Komunikasi memang menjadi kunci utama untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan anak. Sama halnya dengan Olga, Juliana juga memposisikan dirinya sebagai teman.
"Saya memperlakukan anak sebagai teman agar bisa jadi temen curhat, karena anak sekarang kan sudah tidak bisa diajar kayak kita dulu. Orang tua galak anak jadi takut. Kita harus bisa jadi temen anak sehingga mereka leluasa untuk curhat apapun sikon mereka."
Menurut Olga, komunikasi yang baik dalam keluarga penting untuk dilakukan. Ia dan keluarga biasa mengobrol saat makan malam. Dari obrolan inilah tercipta suasana hangat dalam keluarga.
"Membuat nyaman suasana rumah, kalau anak pulang dari kegiatan kan maunya mereka pulang, bukan keluyuran," tutupnya.
Dan, jika sang anak terjerumus dalam situasi yang lebih pelik dan berat, selain menindaklanjuti dengan dialog, ia mengaku tidak menutupi kemungkinan untuk membawa sang anak mendapat bantuan profesional.
"Sebisa mungkin saya dan suami akan bicara secara pribadi. Kalau sudah berat, mau tidak mau bawa ke psikolog anak," ujarnya.