Jakarta, CNN Indonesia -- Di bawah program bertajuk Switch Asia Hand Woven Textile yang diusung Hivos, tenun tradisional seperti songket, ikat dan lurik mendapat perhatian khusus. Hasil kerajinan daerah itu kini menjadi bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG 12.
Salah satu upaya untuk menanganinya, Hivos bekerjasama dengan Uni Eropa, dan menandainya dengan serah terima produk tenun ramah lingkungan yang berlangsung di Alun Alun Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta, pada Rabu (31/5).
Program Manajer Delegasi Uni Eropa, Ria Noviari Butarbutar mengatakan perwujudan program tersebut adalah untuk memperbaiki kualitas perajin tenun dan produk yang sudah hampir ditinggalkan oleh masyarakat daerah. Hal tersebut bukan karena diminati oleh Eropa, tapi lebih pada perhatian yang dapat memajukan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik melalui karya tenun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini lebih pada keinginan kami untuk memperbaiki kualitas hidup para penenun dan kualitas produk yang selama ini mungkin menggunakan pewarna sintetis. Ada beberapa daerah yang akhirnya sudah mulai hilang dengan tenun asli daerahnya dan membuat tenun dari daerah lain," ucapnya.
Ria mengatakan, pihak Uni Eropa akan mendukung kebijakan SDG 12 yang akan dilakukan di Indonesia. Meski demikian, pihaknya juga menunggu gerakan dari pemerintah untuk mewujudkan program tersebut.
Salah satu yang diolah dalam program itu pun disebut dengan Ekolabel. Rencana itu lebih mengedepankan bahan dan pewarna alami yang dinilai tidak akan merusak lingkungan hidup ketika diolah.
Project Manager Switch Asia Hand Woven Textile, Miranda, mengatakan melalui program berkelanjutan tersebut ada tiga hal yang diperhatikan yaitu kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan.
Pewarna alami, kata Miranda, dapat menguntungkan perajin tenun. Selain karena harga yang murah dan bahan bisa didapatkan dari lingkungan sekitar, mereka juga dapat menciptakan beragam warna.
Meski demikian, Miranda mengatakan, pihaknya hanya berperan untuk mengajarkan penenun dalam pembuatan bahan-bahan alami tersebut.
"Bahkan, ada penenun yang berusia sekitar 50 tahun pun sampai tidak tahu bagaimana cara untuk membuat pewarna alami seperti apa. Padahal, dulu tenun diciptakan dengan pewarna alami oleh nenek mereka," ucapnya.
Sejauh ini telah ada 20 daerah yang menggunakan pewarna alami dalam pembuatan tenun. Daerah tersebut diantaranya Klaten, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Sulawesi.
Meski demikian, pihaknya masih membutuhkan kerjasama dari pemerintah daerah untuk mewujudkan kelestarian tenun tradisional.
Diketahui, Miranda juga melakukan serah terima dokumen dengan pihak Pustanlinghut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatanan. Selain soal Ekolabel, dokumen itu berisi visi, misi, tantangan dan peta jalan pengembangan sektor tenun dalam lima tahun.
(rah)