Dampak Psikologi Saat Melihat Aksi Penikaman di Depan Mata

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Minggu, 02 Jul 2017 15:02 WIB
Insiden penusukan dua anggota Brimob meninggalkan trauma mendalam. Apa kata psikolog mengenai hal ini dan bagaimana cara mengatasinya trauma tersebut?
Insiden penusukan dua anggota Brimob meninggalkan trauma mendalam. Apa kata psikolog mengenai hal ini dan bagaimana cara mengatasinya trauma tersebut? (Foto: Thinkstock/Nantapok)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jemaah Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dikagetkan dengan insiden penusukan dua anggota Brimob yakni AKP Dede Suhatmi dan Briptu M. Syaiful Bakhtiar pada Jumat (30/6).

Menurut sejumlah saksi mata, insiden itu terjadi tepat setelah jemaah masjid menunaikan ibadah salat isya. Akibatnya, tak sedikit jemaah masjid bahkan warga sekitar yang mengaku khawatir beribadah di masjid tersebut pasca penyerangan.

Psikolog Ayoe Sutomo mengatakan, bukan hal yang aneh jika jemaah masjid dan warga sekitar merasa takut dan khawatir untuk kembali menunaikan ibadah di masjid tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, menurut Ayoe, bagi sejumlah orang yang melihat langsung kejadian tersebut bisa mengidap trauma yang tidak bisa dianggap sepele.



Trauma Serius
"Sudah jelas ketika suatu peristiwa luar biasa terjadi akan menimbulkan trauma. Bahkan, hal terburuk yang bisa terjadi pada sejumlah warga sekitar masjid khususnya saksi mata yang melihat langsung kejadian adalah post traumatic stress disorder (PTSD)," tutur Ayoe saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Minggu (2/7).

Dia memaparkan, tingkat trauma seseorang bisa berbeda-beda. PTSD merupakan gejala trauma yang sudah berada pada level serius.

Biasanya, berat atau ringannya trauma seseorang bisa dilihat dari seberapa dekatnya individu dengan kejadian luar biasa itu. Ayoe berujar, saksi mata yang melihat langsung kejadian penyerangan di Masjid Falatehan ini pun sangat berpotensi mengalami PTSD.



Ciri-ciri Penderita Trauma Akut
Menurut Ayoe, ciri-ciri orang yang telah mengidap PTSD adalah perubahan emosi dan fisik yang intens, seperti teringat-ingat akan kejadian traumatis dalam jangka waktu panjang hingga berbulan-bulan.

Orang yang mengalami PTSD, ujarnya, juga kerap mengalami susah tidur dan mimpi buruk sehingga lebih sensitif.

Tak jarang, pengidap PTSD suka mengalami ketakutan yang berlebih akan sesuatu hal yang terus mengingatkannya pada kejadian traumatis di masa lalu.



"Kalau sudah mengalami gejala PTSD, sudah tidak bisa ditangani sendiri. Butuh pengobatan seperti terapi perilaku dari tenaga profesional entah itu psikolog atau psikiater," kata Ayoe.

Trauma pun benar dirasakan Anton, pedagangan minuman di sekitar masjid yang melihat sang pelaku, Mulyadi, mengeluarkan pisau besar sesaat sebelum menyerang kedua anggota Brimob itu secara membabi-buta.

"Kejadiannya cepat, saya juga trauma dari semalam enggak bisa tidur. Biasanya saya berjualan sampai isya, hari ini mah enggak tahu," kata Anton, Sabtu (1/7).

Anton rutin beribadah di Masjid Falatehan, termasuk salat magrib petang tadi. Namun, usai salat, Anton langsung menutup warung dan pulang lebih awal. Ia enggan menjalankan salat isya di masjid yang sama.

Pria berusia 43 tahun itu mengaku trauma salat isya di Masjid Falatehan lantaran kejadian tersebut. Padahal, ia sudah berdagang di dekat masjid itu sekitar 35 tahun.

Walaupun begitu, Ayoe mengatakan, Anton belum tentu mengalami PTSD. Pada umumnya, PTSD bisa terlihat setelah beberapa bulan usai kejadian traumatis berlangsung.

Mengatasi Trauma
"Saat ini kita baru bisa lihat gejala trauma pada sejumlah saksi mata. Ini masih bisa dibantu dengan support dan bantuan orang sekitar seperti keluarga," tutur Ayoe.

Psikolog dari Citra Ardhita Psychological Services ini mengatakan, dukungan salah satunya bisa diberikan dengan cara memberi keyakinan positif bagi para saksi mata atau warga yang mengidap trauma melalui pendekatan logika ataupun religi.

Memberi pemaparan fakta bahwa situasi berhasil terkendali dengan baik oleh aparat berwenang, kata Ayoe, juga bisa meredakan kecemasan dan meredakan efek trauma.

"Kita tidak bisa memaksakan mereka yang khawatir atau merasa trauma untuk kembali beribadah seperti biasa di masjid itu. Salah satu cara [menyembuhkan efek trauma] yakni meyakinkan mereka bahwa petugas sudah mengatasi peristiwa ini dengan cepat dan sigap. Ini membantu sekali menenangkan kecemasan dan kekhawatiran warga," ujarnya menambahkan.
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER