Pontianak, CNN Indonesia -- Pontianak dikenal sebagai kota yang panas dan mistis. Panas, karena ibu kota Kalimantan Barat ini dilalui oleh Garis Khatulistiwa dan mistis, karena nama kota ini berarti kuntilanak.
Tapi dua hal tersebut tak membuat kota yang dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak ini sepi dari turis. Setiap tahunnya, puluhan ribu turis dari dalam dan luar negeri datang untuk menyicipi kuliner dan berkeliling di objek wisatanya.
Tugu Khatulistiwa bukan satu-satunya objek wisata bersejarah yang wajib dikunjungi saat datang ke Pontianak. Rumah Radakng dan Keraton Kesultanan Kadariyah juga bisa didatangi untuk mengetahui lebih dalam asal usul kota ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah RadakngBerada di Jalan Sutan Syahrir, Rumah Radakng merupakan replika rumah adat Suku Dayak berukuran paling besar di Kalimantan Barat, karena memiliki tinggi tujuh meter dan panjang 138 meter. Rekor tersebut bahkan sudah dicatat oleh Museum Rekor Indonesia.
Gubernur Kalimantan Barat Cornelis baru meresmikannya dalam Pekan Gawai Dayak ke-XXVIII pada 2013. Alasannya, sudah banyak Rumah Radakng yang punah seiring berkembangnya zaman.
Serba kayu dan bermotif cerah, merupakan ciri khas rumah adat Suku Dayak yang juga ada di Rumah Radakng versi replika ini.
 Bangunan Rumah Radakng yang dibuat tidak menyatu dengan tanah. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Untuk masuk ke Rumah Radakng, pengunjung harus naik tangga yang lumayan tinggi. Bangunan memang dibikin tak menyatu dengan tanah untuk menghindari sergapan binatang buas atau musuh, sehingga penghuninya bisa mengintai dari dalam rumah.
Di dalam Rumah Radakng terdapat sejumlah bilik-bilik yang dijadikan ruangan bagi penghuninya. Khusus di replikanya, kapasitasnya bisa mencapai untuk 600 orang.
Dari pembagian ruangannya menandakan kalau Suku Dayak merupakan suku yang gemar hidup berkumpul bersama keluarga dan kerabat.
Keraton Kesultanan KadariyahDari luar, Keraton Kesultanan Kadariyah tampak seperti rumah biasa. Tapi setelah masuk ke kompleksnya, ternyata bangunan ini merupakan saksi bisu penyebaran agama Islam di Pontianak.
Kesultanan Pontianak di bawah pimpinan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri membangunnya pada tahun 1771 sampai 1778 masehi. Sebelum ada kota, komplek keraton ini merupakan pusat kehidupan di Pontianak.
Tembok bangunannya Keraton Kesultanan Kadariyah yang berbahan kayu didominasi oleh warna kuning. Simbol Islamnya bisa dilihat dari lambang bulan sabit dan bintang yang ditaruh di atas atapnya.
Informasi mengenai silsilah Kesultanan Pontianak bisa diketahui melalui susunan foto yang terbingkai rapi dan berada di ruangan tengah. Singgasana Sultan dan Kaca Seribu juga masih ada di ruangan yang berada di lantai bawah itu.
 Pengunjung melihat-lihat koleksi peninggalan sultan di Keraton Kesultanan Kadariyah. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Kaca Seribu ialah dua kaca antik dari Perancis yang dapat menampilkan seribu bayangan seseorang di depannya.
Di lantai atas terdapat ruangan khusus yang biasanya digunakan sultan untuk memantau arus di Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Namun, saat dikunjungi kemarin, area tersebut ditutup untuk renovasi.
Salah satu pengurus Keraton Kesultanan Kadariyah, Karim, mengatakan kalau makna mitos kuntilanak di Pontianak berawal dari sini.
Karim bercerita, saat itu Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri sedang melakukan perjalanan dan melewati Sungai Kapuas. Di tengah perjalanan, ia diganggu oleh hantu-hantu perempuan atau yang disebut kuntilanak.
Semenjak itu kawasan yang berada di sekitar Sungai Kapuas disebut Pontianak.
Bangunan Keraton Kadariah seperti halnya keraton-keraton Melayu lainya yang didominasi oleh warna kuning. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Walau tak lagi menjadi pusat pemerintahan, tapi nilai sakral Keraton Kesultanan Kadariyah masih sangat kental. Oleh karena itu, terdapat sejumlah larangan yang harus ditaati oleh pengunjung.
Pertama, pengunjung tidak boleh menduduki Singgasana Sultan. Kedua, pengunjung tak boleh berfoto selfie dengan gaya berlebihan, jadi hanya boleh bergaya formal.
Ketiga, pengunjung harus mengenakan pakaian tertutup. Bagi yang sudah terlanjur mengenakan celana pendek akan dipinjamkan sarung. Keempat, alas kaki wajib dilepas saat masuk ke dalam bangunan.
“Saya rasa aturan ini tidak berlebihan, karena dibuat agar suasana tetap nyaman dan menghormati leluhur yang pernah ada di sini,” pungkas Karim.
(ard)