Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Di era Presiden Joko Widodo, sektor pariwisata benar-benar digenjot. Tidak tanggung-tanggung, Menteri Pariwisata Arief Yahya diberi pekerjaan rumah mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara sampai 2019 dan 275 juta wisatawan nusantara -- target yang pada Hari Wisata Dunia pada 27 September ini masih jauh api dari panggang.
Meski terkesan besar, jumlah itu ternyata masih lebih sedikit dibanding negara-negara tetangga. Thailand, misalnya, berhasil mendatangkan 29,8 juta wisatawan dalam waktu satu tahun, sedangkan Malaysia mampu menggaet 24 juta wisatawan per tahun.
Jumlah 20 juta wisatawan mancanegara sampai 2019 juga dianggap tak seberapa jika dibandingkan potensi wisata yang dimiliki Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi pernah menyatakan keheranannya di depan awak media, mengapa Indonesia kalah dengan Thailand dan Malaysia? Padahal destinasi wisata Indonesia lebih banyak.
Pemerintah pun kemudian membuat program 10 destinasi wisata baru, atau yang lebih dikenal dengan 10 Bali baru dengan tujuan membuat tempat-tempat itu bernasib sama dengan Bali. Selalu dicintai, selalu membuat orang ingin kembali, sampai bisa mengundang empat juta wisatawan mancanegara setiap tahun.
Sepuluh Bali baru itu adalah Danau Toba, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudur, Gunung Bromo, Mandalika Lombok, Pulau Komodo, Taman Nasional Wakatobi, dan Morotai.
 Bali masih menjadi andalan sektor pariwisata dan bisa menarik perhatian 4 juta turis setiap tahunnya. (REUTERS/Nyimas Laula) |
Saat ini sektor pariwisata telah menjadi penghasil devisa nomor dua di Indonesia menggeser sektor migas pada 2017. Target pemasukan pemerintah dari sektor ini adalah Rp200 triliun.
Dari segi finansial, pertumbuhan sektor pariwisata memang patut ditunggu-tunggu karena diharapkan akan membantu ekonomi rakyat di daerah wisata.
Hanya saja, bukan berarti tanpa catatan. Seperti halnya kegiatan ekonomi lain, pemanfaatan alam sebagai satu sumber pemasukan devisa juga memiliki dampak negatif.
Dalam buku
Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan karya Agustinus Wibowo, ada sepenggal cerita yang cukup untuk membuktikan kekhawatiran akan ‘pelacuran’ alam, keindahan alam dijual hanya untuk meraup untung belaka.
Agustinus menulis: “Dilema itu adalah membiarkan destinasi-destinasi ‘surgawi’ itu tetap tak terjamah atau membaginya bagi semua umat dunia? Membiarkan penghuni pulau-pulau nirwana untuk tetap hidup terbelakang apa adanya menikmati surga mereka sendiri yang terisolasi, atau hidup makmur modern tapi diliputi ambisi dan mimpi-mimpi kosong tentang ‘surga yang lain’ seperti halnya warga dunia normal? Membiarkan warga dunia tetap berkhayal, atau mengizinkan mereka semua mencicip surga di bumi itu sampai akhirnya mereka menguap bosan karena surga tak lagi eksklusif dan fantastis?”
Sisi manfaat ekonomi bagi warga sekitar yang diharapkan pemerintah juga seringkali tidak terjadi.
 Sejak 2016 Danau Toba dicanangkan sebagai salah satu dari 10 kawasan strategis pariwisata nasional yang menjadi prioritas Kementerian Pariwisata. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin) |
Kantor berita
AFP melaporkan bahwa keindahan Raja Ampat, yang sangat terkenal di penjuru dunia sebagai surga wisata bahari, tidak bermanfaat bagi warga di sekitarnya.
Warga kampung Byang Betew, sekitar dua jam perjalanan dari Waisai, ibu kota Raja Ampat, mengaku tak bisa menikmati aliran listrik dan air bersih. Jarak sekolah saja sangat jauh. Mereka juga masih tinggal di gubuk-gubuk sederhana.
‘Penghasilan’ Raja Ampat ternyata belum mereka rasakan sampai saat ini. Padahal katanya jumlah wisatawan selalu meningkat tiap tahunnya, menyentuh angka 15 ribu.
“Kenyataan ini sangat melukai kami. Mereka mengambil alih tanah kami, tapi kami tak menikmati hasilnya. Kami merasa dibohongi,” kata Ketua adat Byak Betew, Paul Mayor.
“Ini tanah kami, yang telah berubah menjadi tujuan wisata dunia. Tapi kehidupan kami tak ikut mengalami peningkatan,” lanjutnya.
Belum lagi soal kerugian yang mungkin hanya akan meninggalkan rasa penyesalan, yaitu kerusakan alam. Wisata massal membuat terumbu karang di Raja Ampat rusak.
Direktur Perancangan Destinasi dan Investasi Kementerian Pariwisata, Frans Teguh pernah mengatakan ada spot di kawasan Raja Ampat yang ditemukan sudah rusak pada 2014 lalu.
"Ada
underwater researcher datang dari Eropa datang ke Raja Ampat dia foto dan itu bagus sekali," kata Frans
Ironisnya lima bulan kemudian saat para peneliti itu kembali untuk meneliti lokasi yang sama mereka menemukan perbedaan yang sangat signifikan. Karang di kawasan tersebut ditemukan rusak.
Salah satu penyebabnya adalah hentakan kaki dari para penyelam pemula yang belum begitu menguasai teknik menyelam.
 Lombok menjadi salah satu destinasi wisata di Indonesia yang disenangi turis. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi) |
Hal itu seharusnya tidak terjadi jika operator selam ketat menerapkan peraturan soal siapa saja yang boleh menyelam. Operator selam harus mempunyai tanggung jawab menjaga tempat wisata tempat mereka bernaung dan tak hanya meraup untung belaka.
Fakta tersebut cukup membuktikan, bahwa di destinasi unggulan pun, pengelolaan wisatanya belum mapan. Masih ada cacat di sana sini, mulai dari hal kecil sampai hal-hal besar seperti kerusakan alam.
Dinas Pariwisata bersama Dinas Koperasi UMKM, sebagai contoh, seharusnya bisa bekerja sama membina para operator selam agar lebih bertanggung jawab mengelola bisnisnya, namun tetap bisa meraup keuntungan.
Mungkin dengan membuat beberapa peraturan untuk sebagai pedoman. Namun, jangan lupa menerapkan sanksi yang tegas ketika peraturan tersebut dilanggar karena seringkali peraturan ada, tapi sanksi pelanggaran tidak ada.
Memang pilihan yang sulit. Memaksimalkan potensi demi memakmurkan kehidupan masyarakat, atau membiarkan semua apa adanya seperti sedia kala, yang penting masih bisa makan dan melanjutkan kehidupan?
(yns)