Surabaya, CNN Indonesia -- Dari luar, Kafe Mbok Kom yang berlokasi di Jalan Ketintang Madya Surabaya, tak ubahnya seperti warung kopi atau tempat makan biasa. Namun, jika sudah masuk ke dalam dan memesan makanan, barulah menemukan perbedaan. Di sini, hampir 90 persen karyawannya dari kalangan disabilitas.
Mochammad Shobik (31) pemilik kafe, menuturkan warung kopi semi modern ini memang dibuat tidak berbeda jauh dengan warung kopi pada umumnya. Bahkan, secara kasat mata hampir tak terlihat perbedaannya. Namun, perbedaan itu akan sedikit terlihat jika masyarakat menyempatkan mampir dan menikmati suasana tempat tersebut.
"Masyarakat akan disuguhkan dengan berbagai menu minuman dan makanan oleh kalangan disabilitas," tuturnya, saat ditemui pada Rabu (16/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, bukan tidak mungkin hal itu dilakukan karena selama ini kalangan disabilitas hanya dianggap sebelah mata oleh kalangan normal.
"Kita tunjukkan bahwa kalangan disabilitas masih mempunyai keinginan untuk berusaha seperti layaknya orang normal," kata Shobik.
Dia mengatakan, memang awalnya akan terlihat asing bagi sebagian besar pengunjung kafe yang datang. Karena sebagian besar karyawan yang bekerja disana mengalami tunarungu, tunawicara maupun tunadaksa.
 Kafe Mbok Kom, Surabaya. (Foto: CNN Indonesia/Kurniawan Dian) |
"Awalnya, memang banyak komplain dari
customer. Tapi saya anggap wajar lah, karena mereka enggak tahu kalau disini pekerja dari kalangan disabilitas. Ada yang ditanya diam saja, ada juga yang diajak
ngobrol tapi enggak bersuara. Di sana,
customer sempat merasa jengkel dan kecewa," ucap Shobik.
Dia menyampaikan, setelah pelanggan cafe tahu jika sebagian besar pekerja kalangan disabilitas, justru mereka merasa kagum. Bahkan tak jarang juga mendoakan agar usahanya lancar. Sebagian besar, mereka datang dari berbagai kota, di antaranya, Nganjuk, Trenggalek, Kediri, Sidoarjo, Surabaya dan Bali.
"Soal komunikasi, sebenarnya bagi saya sendiri enggak ada kesulitan dengan pekerja disabilitas. Tapi ada sebagian karyawan lain yang belum mengerti bahasa isyarat yang digunakan, terutama pelanggan cafe," ujarnya.
Dia menceritakan, warung kopi semi modern ini belum lama dibuka, terhitung sudah sebulan yang lalu. Dia yang juga mengalami tunadaksa harus menyembunyikan keinginannya dari keluarga untuk membuka usaha bersama kalangan disabilitas.
"Istri saya baru dikasih tahu H-3 jelang
launching. Sedangkan keluarga baik orang tua maupun saudara tahunya saat
launching," tuturnya.
Awalnya, mereka tak menyangka jika usaha ini digeluti bersama kalangan disabilitas. Namun, tekad dan doa restu orang tuanya yang membuat dirinya untuk terus melangkah dan mengajak kalangan difabel berkembang tanpa memangku tangan orang lain.
"Sebagai kalangan difabel, kami banyak merasakan pelajaran dari orang lain. Bagaimana dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Mereka beranggapan kita bisa apa. Tapi saya berkeyakinan, saya bersama teman-teman ini mampu layaknya orang normal," ujarnya.
(rah)