Yangon, CNN Indonesia -- Myanmar mungkin bukan menjadi tujuan utama turis mancanegara saat berkunjung ke wilayah Asia Tenggara. Nama Indonesia, Thailand, Singapura dan Vietnam terbilang jauh lebih beken dibanding negara yang dulunya bernama Burma itu.
Faktor kepopuleran membuat Yangon, bekas ibukota yang menjadi area terpadat di Myanmar, belum ramai oleh turis. Padahal, banyak objek wisata yang menarik untuk dikunjungi di kota ini.
Meski menjadi kota terdepan di Myanmar, Yangon masih belum semodern Jakarta, Bangkok, Singapura, atau Hanoi. Namun, turis tetap bisa berkeliling kota dengan taksi, bus, side-car (seperti becak mini), atau kereta ekonomi (yat-tha) dengan jalur melingkar seperti komuter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif taksi di Yangon cenderung lebih murah dibanding di Indonesia, sementara tarif bus dan kereta hanya 200 kyat (sekitar Rp2.200) sekali naik. Tak banyak bus yang menggunakan AC di Myanmar, karena umumnya perusahaan bus lokal mengimpor bus tua bekas dari Korea Selatan.
Kalau mau lebih murah lagi, bisa naik kereta ekonomi tanpa AC. Hanya saja butuh kesabaran ekstra, karena lajunya lambat dan hanya melewati beberapa area pinggir pusat kota.
Sebagian besar perdagangan dan jasa hanya bisa dibayar secara tunai dengan mata uang kyat. Oleh karena itu, turis disarankan untuk menukar mata uang yang dibawa sesampainya di Bandara Internasional Yangon. Nilai tukarnya jauh lebih baik di bandara, terutama jika membawa dolar Amerika Serikat.
[Gambas:Instagram]Warga lokal di Yangon terbilang sangat ramah. Walau sedikit yang bisa berbahasa Inggris, mereka tak segan membantu dan menjawab pertanyaan turis seputar arah jalan atau lainnya dengan bahasa dan gerak tubuh campur aduk.
Pada akhir pekan kemarin, saya berkesempatan untuk mengunjungi Yangon. Di sela kegiatan kerja yang saya lakukan, saya meluangkan waktu untuk berwisata satu malam di sana. Berikut ini ialah rangkuman perjalanan saya:
05.00 - Mencari kedamaian di Shwedagon PagodaSaya mengawali hari di Yangon dengan mengunjungi pagoda utama yang menjadi ikon kota, yakni Shwedagon Pagoda. Saya memilih berangkat sejak pagi, karena belum banyak pengunjung yang berdatangan ke tempat ini.
Arsitektur Shwedagon Pagoda didominasi oleh mozaik keramik dan kaca, sehingga kalau berkunjung saat matahari sedang tinggi ruangan dalamnya akan terasa gerah. Pengunjung diminta melepas alas kaki sebelum masuk. Jika tidak membawa sarung (longyi), pengunjung wajib mengenakan pakaian sopan.
Dari hotel yang terletak di area Chinatown, saya naik taksi yang memakan waktu sekitar 20 menit dan turun di pintu barat pagoda. Karena masih sangat pagi, tidak ada macet dan udara cenderung masih segar.
 Biksu-biksu cilik yang tengah berdoa di hadapan Buddha di Shwedagon Pagoda. (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Sesampainya di Shwedagon Pagoda, suasana masih sepi, walau tempat ini buka sejak pukul 04.00. Penjaga pagoda sudah terlihat siap menyambut turis. Turis asing dikenakan biaya masuk 8.000 kyat (sekitar Rp88 ribu). Namun, per 1 Desember 2017, harganya bakal naik menjadi 10.000 kyat (sekitar Rp110 ribu). Ini merupakan karcis masuk tempat wisata termahal se-Myanmar.
Suasana damai langsung terasa segera saat saya memasuki area inti pagoda. Beberapa biksu terlihat tengah bermeditasi. Ada pula yang membaca kitab. Sejumlah biksu kecil juga nampak duduk berdampingan di hadapan patung Buddha seraya merapal doa. Sedangkan beberapa pengunjung lokal terlihat tengah berdoa dan bersembahyang. Di sela kesibukan beribadah, terdengar lonceng bergema beberapa kali.
Semakin siang, semakin banyak pengunjung berdatangan. Ada yang ingin beribadah atau sekadar menjadi turis.
Setelah puas berkeliling Shwedagon Pagoda, saya mencari tempat untuk sarapan.
10.00 - 'Brunch' khas MyanmarSaya memutuskan untuk sarapan khas Myanmar. Berdasarkan rekomendasi teman yang merupakan warga lokal, terdapat satu tempat makan terkenal yang menjajakan hidangan khas bernama Feel Myanmar Food.
Feel Myanmar Food tak berada jauh dari Shwedagon Pagoda, bisa dicapai dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dari pagoda.
 Sarapan khas orang Burma, Nyor Nyot Khout Swel (mie dengan sup susu sapi dan ayam). (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Sesampainya di saya, saya memesan Nyor Nyot Khout Swel (mie dengan sup susu sapi dan ayam), Kyan Khinn Hta Min Thote (nasi goreng ala Kyan Khinn dengan telur dan sup yang dihidangkan terpisah), dan teh khas Myanmar.
Setelah melahap habis makanan itu, tagihan beserta pajak yang saya bayar seharga 5.565 kyat (sekitar Rp62 ribu).
12.00 - Belanja di Bogyoke Aung San (Scott) MarketUsai mengisi perut, saya bergerak menuju Bogyoke Aung San Market atau yang dikenal dengan Scott Market. Di sini, turis bisa berburu suvenir khas Myanmar, seperti longyi, baju adat, ukiran, lukisan, gelang, kalung, sampai gantungan kunci.
Scott Market merupakan salah satu pasar utama di Yangon yang telah berdiri sejak masa penjajahan Inggris. Meski sebagian besar toko hanya menerima uang tunai, pengunjung tak perlu bingung jika kehabisan uang tunai di sini, karena ada mesin ATM dan gerai penukaran uang tersebar di sudut-sudut pasar.
 Area utama Pasar Bogyoke Aung San (Scott) Market yang banyak menjaja suvenir khas Myanmar. (CNN Indonesia/ Resty Armenia) |
Harga barang di pasar ini terbilang tidak mahal, namun juga tidak murah. Pembeli juga disarankan untuk menawar setengah dari harga yang ditawarkan penjual. Sebagian besar penjual hanya bisa berbahasa Inggris dasar, sehingga mereka biasanya menyebutkan harga dengan mengetiknya di kalkulator.
Di pasar ini banyak pula penjual jajanan khas Myanmar, seperti Kaw Pyant (lumpia mini dengan sambal hijau pedas), Mote Lin Ma Yar (kudapan dari tepung dan susu), dan Shwe Yin Aye (es campur).
15.00 - Kongko sore di Kan Daw Gyi (Royal) LakePuas berbelanja, saya kembali ke area Shwedagon Pagoda, tepatnya di sisi timur, yakni ke Kan Daw Gyi Lake yang juga tersohor dengan sebutan Royal Lake. Saya rela kembali ke area ini karena pemandangannya indah dan suasananya terasa sejuk di sore hari.
Royal Lake dihiasi jajaran pohon dan lahan hijau yang luas. Keberadaan danau seluas 61 hektare di sana juga memiliki beberapa pojokan yang biasa digunakan pengunjung untuk kongko sore.
Untuk memasuki wilayah danau ini, setiap pengunjung harus membayar tiket masuk seharga 1.200 kyat (sekitar Rp13 ribu). Di dalam area, pengunjung bisa berjalan berkeliling danau, makan minum di restoran, atau piknik di area rerumputan di pinggir danau.
 Salah satu ikon Royal Lake adalah Karaweik Hall, sebuah tempat pertemuan yang dilengkapi dengan restoran mewah berbentuk seperti kapal dengan dua naga raksasa. (CNN Indonesia/ Resty Armenia) |
Salah satu ikon danau ini adalah Karaweik Hall, sebuah tempat pertemuan yang dilengkapi dengan restoran mewah berbentuk seperti kapal dengan dua naga raksasa. Bangunan ini didesain oleh arsitek Myanmar, U Ngwe Hlaing, pada Juni 1972.
Terdapat juga beberapa kuil di sekitar Royal Lake. Karenanya, tak jarang berseliweran biksu dan umat Buddha yang mengunjungi danau ini untuk beribadah.
Pasangan muda-mudi yang berkencan di pinggir Royal Lake juga dihibur oleh pertunjukan musik yang ditampilkan oleh musisi lokal.
Saya menyempatkan diri untuk mencicipi salah satu makanan tradisional Myanmar, yakni Lahpet Toat (salad daun teh), di pinggir danau. Lahpet terlihat seperti gado-gado yang terdiri dari daun teh, kacang, tomat, cabe, udang kering, dan lainnya. Minuman yang perlu dicoba adalah teh tarik khas Myanmar, Lahpet Yay.
18.00 - Intip Buddha Berbaring di Chauk Htat Gyi Buddha TempleSalah satu ikon menarik di Yangon adalah patung raksasa Buddha berbaring di Kuil Chauk Htat Gyi. Patung ini memiliki panjang 66 meter. Ukiran patung ini sangat detail dan penuh warna, dari ujung kepala hingga ke bagian telapak kaki Buddha.
 Salah satu ikon menarik di Yangon adalah patung raksasa Buddha berbaring di kuil Chauk Htat Gyi. Patung ini memiliki panjang 66 meter. (CNN Indonesia/ Resty Armenia) |
Tak seperti kuil atau pagoda lainnya di Myanmar, pengunjung gratis masuk ke Chauk Htat Gyi. Namun, jika ingin berkontribusi demi kebersihan kuil, pengunjung bisa menyewa longyi atau mendonorkan uangnya ke kotak donasi di dekat pintu masuk.
Banyak biksu dan umat Buddha yang beribadah hingga malam hari di kuil. Di sekitar Chauk Htat Gyi banyak juga penjaja yang menjual perlengkapan beribadah dan aksesoris bertema Buddha.
20.00 - Sule PagodaSule Pagoda merupakan stupa asli Burma yang terletak di tengah Yangon dan sejak dulu menjadi jantung kehidupan dan perekonomian warga kota. Pagoda yang didominasi warna emas ini dibangun bahkan sebelum Shwedagon Pagoda, yakni sekitar 2.600 tahun yang lalu.
Untuk memasuki pagoda ini, pengunjung harus mengenakan pakaian sopan dan membayar biaya masuk sebsar 3.000 kyat (sekitar Rp33 ribu). Ukuran pagoda ini tidak seluas Shwedagon, namun karena lantainya terbuat dari keramik, maka lebih baik datang di pagi atau sore hari agar tidak terlalu terpapar terik matahari.
 Kawasan depan Sule Pagoda di tengah Kota Yangon. (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Karena letaknya yang di sebuah jalan lingkar di tengah kota, lampu-lampu yang menghias Sule Pagoda berbaur indah dengan lampu-lampu kota. Apalagi, tak jauh dari Sule ada sebuah jembatan penyeberangan cukup besar yang biasanya dipakai orang-orang untuk berfoto dengan latar Sule dari kejauhan di malam hari.
Di dekat Sule Pagoda terdapat dua pusat perbelanjaan besar. Pengunjung yang ingin beristirahat atau makan bisa berjalan kaki ke sana.
(ard)