Menimbang Psikologi Anak Kala Orangtua Bercerai

Elise Dwi Ratnasari | CNN Indonesia
Senin, 08 Jan 2018 13:16 WIB
Psikolog menilai orangtua mestinya menimbang kondisi kejiwaan anak ketika memutuskan untuk bercerai.
Psikolog menilai orangtua mestinya menimbang kondisi kejiwaan anak ketika memutuskan untuk bercerai. (Foto: pixabay/ayank)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar gugatan cerai mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terhadap istrinya, Veronica Tan makin riuh dibicarakan. Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Tarmuzi, dan kuasa hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur, membenarkan bahwa surat gugatan cerai sudah masuk dan diterima pengadilan pada Jumat (5/1).

"Iya, saya yang tanda tangan (berkas pendaftaran surat gugatan cerai itu)," ungkap Tarmuzi kepada wartawan di PN Jakarta Utara, Senin (8/1).

Kabar ini mengejutkan berbagai pihak. Perceraian bukan sebuah keputusan mudah. Menurut psikolog Livia Iskandar, keputusan untuk bercerai mestinya diambil setelah pasangan menempuh berbagai jalan demi menyelamatkan perkawinan. Sebaiknya, kata dia, sebelum sampai pada keputusan itu, pasangan juga melalui proses konseling bersama psikolog.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Bagi pasangan yang sudah memiliki anak, perceraian tentu membawa dampak pada mereka. Keputusan untuk bercerai harus didiskusikan bersama. Anak diajak bicara bahwa kedua orang tua mereka sudah melalui berbagai cara, tapi tak berhasil menyelamatkan perkawinan sehingga memutuskan untuk bercerai.

Ayah dan ibu perlu memberikan pengertian sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Seringkali anak kecil berpikir sederhana dengan pemahaman bahwa orang tuanya berpisah karena kesalahannya. Livia menyarankan orang tua untuk memberikan pemahaman dengan baik dibantu oleh psikolog perkawinan.

"Walau berpisah, anak akan tetap menjadi anak. Perlu kekompakan ayah dan ibu, bahwa walau sudah bercerai mereka tetap akan jadi ayah dan ibu bagi anak-anak," kata Livia saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, Senin (8/1).

Menurutnya, demi menghindari dampak buruk perceraian terhadap anak ialah kebesaran hati orang tua untuk tetap kompak mengasuh anak. Senada dengan Livia, psikolog anak Monica Sulistiawati mengungkapkan bahwa orang tua perlu kompak, perlu ada kerja sama dalam mengasuh anak. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir efek kehilangan yang dirasakan anak.


"Tidak ada istilah mantan ayah, mantan ibu. Orang tua perlu meredam ego untuk memberikan support ke anak, apalagi di momen-momen berharga anak misal ulang tahun, anak tampil di sebuah acara, ikut lomba," ujar Monica saat dihubungi secara terpisah.

Menurut Livia, orang tua perlu punya kesepakatan dalam pengasuhan anak. Kekompakan orang tua diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai dasar bagi anak. Jangan sampai anak berada pada dua atmosfer pengasuhan berbeda, misal, ayah yang terlalu bebas dan ibu yang terlalu ketat mengatur.

"Kalau orang tua tidak sepakat tentang pengasuhan itu akan membingungkan anak. Ayah bilang gini, ibu bilangnya lain," tambahnya.

Memberi pengertian pada anak

Monica menjelaskan, reaksi pertama saat anak tahu bahwa orang tuanya bercerai antara lain anak sedih, menolak, serta terkejut. Hal ini pun harus dibicarakan orang tua ke anak langsung sebelum informasi soal perceraian berkembang di luar keluarga.

Saat orang tua jelang proses perceraian, ada baiknya keluarga mengikuti konseling keluarga. Di sini, orang tua akan didampingi saat menyampaikan keputusan mereka pada anak.

"Orang tua harus segera mengajak ngobrol, kasih penjelasan, tujuan, alasan, konsekuensi, bagaimana rencana orang tua selanjutnya. Jika anak tidak diajak bicara atau malah tahu dari orang lain, anak merasa dirinya tidak dipercaya, dibohongi, kan persepsi anak beda-beda," katanya.


Livia menambahkan, jika perceraian menyangkut figur publik, harus dicek dulu kebenaran informasinya, apalagi beredarnya informasi ada berbagai macam versi. Orang tua yang anaknya masih kecil harus dilindungi dari beredarnya informasi-informasi ini.

"Cerai itu keputusan hidup yang sangat tidak mudah apalagi menyangkut anak-anak. Semoga pasangan benar-benar sudah melalui semua jalan," katanya.

Tentang hak asuh anak

Orang tua yang bercerai seringkali bermasalah dengan hak asuh anak. Masing-masing berkeinginan untuk mengasuh anak secara penuh. Namun, menurut Livia, jika anak sudah berusia di atas 12 tahun, anak sebaiknya diajak bicara karena di usia ini, anak dirasa bisa memutuskan apa yang lebih baik untuk dirinya.

"Kalau kemudian ditanya, mau tinggal sama siapa, akan terjadi tarik menarik. Maka perlu kebesaran hati dari ayah dan ibu. Kalau anak milih dengan ayah bukan berarti enggak sayang sama ibu. Ini hanya karena harus milih," jelasnya.


Bagi anak usia di bawah 12 tahun sebenarnya sudah terdapat aturan harus ikut ibunya. Namun, kata Monica, perlu dilihat lagi apakah ibu bisa menjalankan fungsinya, tidak mengalami gangguan jiwa, tidak mengonsumsi narkoba, atau mengalami sakit fisik yang menghalanginya mengasuh anak. Jika terjadi demikian, maka anak sebaiknya ikut ayahnya.

"Anak di bawah 12 tahun ikut ibu karena diharapkan ibu lebih bisa memahami si anak, ikatannya lebih kuat. Ayah tugasnya mencari nafkah. Meski bercerai, tugasnya ini tak berhenti. Maka kalau anak ikut ayah, dikhawatirkan figur orang tua akan sangat minimal karena ayah sibuk bekerja," jelas Monic. (rah)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER