Jakarta, CNN Indonesia -- Tak sedikit orang yang gemar mengomentari fisik seseorang secara
blak-blakan. Misalnya saja, pertanyaan seperti '
kamu gendutan, ya?' atau '
kok, kamu hitaman, sih?' yang kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Tak hanya disampaikan secara langsung, ungkapan-ungkapan itu juga kerap mewarnai kolom komentar media sosial seperti Instagram saat seseorang mengunggah foto teranyarnya.
Meski terdengar sebagai basa-basi atau candaan semata, ungkapan mengomentari fisik orang lain itu termasuk dalam kategori
body shaming atau mempermalukan bentuk tubuh orang lain. Pasalnya, secara tidak sadar, ungkapan itu dapat memojokkan dan membuat orang lain tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Body shaming itu dapat memojokkan perempuan dengan isu ketubuhan yang dimilikinya dan membuat mereka malu dengan tubuhnya," kata psikolog anak, remaja, dan keluarga, Roslina Verauli dalam peluncuran buku
Imperfect karya Meira Anastasia, di Jakarta, belum lama ini.
Menurut psikolog yang akrab disapa Vera itu,
body shaming terjadi karena iklim budaya di Indonesia yang kolektif. Budaya ini membuat setiap orang merasa dekat meskipun bukan keluarga. Ketika bertemu atau melihat unggahan di media sosial, seseorang akan merasa berhak berkomentar mengenai tubuh orang lain.
"Saat bertemu, karena enggak ada obrolan lain atau untuk membuka obrolan yang dikenal dengan basa-basi, orang cenderung mengomentari yang terlihat," tutur Verauli.
Baginya, ungkapan
body shaming ini tak lebih dari bagian keakraban yang belum tentu dimaksudkan untuk memojokkan seseorang.
Dengan sederet alasan itu, Vera mengimbau orang-orang untuk tak memasukkan ungkapan
body shaming ini ke dalam hati.
"Namanya juga basa-basi," ujar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Vera juga meminta agar orang-orang yang menerima komentar
body shaming untuk paham bahwa level komunikasi dengan orang tersebut bukanlah pada taraf yang mendalam dan melibatkan emosi. Komunikasi pada level mendalam yang melibatkan emosi terjadi pada orang yang dekat dan berpengaruh dalam kehidupan.
"Pahami bahwa komunikasi kita dengan mereka bukan di level mendalam. Tapi, sekali lagi hanya basa-basi jadi enggak usah diambil hati," ucap Verauli.
(asr/chs)