Jakarta, CNN Indonesia -- Demi kecintaan pada idola, apa pun akan dilakukan, sekalipun harus berujung hilangnya nyawa. Fanatisme membuat seseorang kehilangan akal dan bertindak irasional.
Tak sedikit gejolak fanatisme yang berujung pada tindakan irasional dan tak wajar. Gejolak ini bahkan telah nampak sejak jauh hari.
Teranyar,
Haringga Sirilia, seorang
suporter Persija Jakarta, The Jakmania, meregang nyawa setelah diamuk gerombolan
bobotoh, pendukung Persib Bandung. Peristiwa nahas itu terjadi sebelum laga lanjutan Liga 1 2018 antara kedua tim di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu (23/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persoalannya itu fanatisme," ujar psikolog, Ihsana Sabriani, mengomentari insiden tersebut, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (25/9).
Fanatisme adalah perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Mark Duffet dalam
Understanding Fandom: An Introduction to the Study of Media Fan Culture (2013) menyebut bahwa penggemar fanatik adalah mereka yang mengisolasi diri dengan cara ekstrem, obsesif, dan kerap berlaku irasional.
Gejala fanatisme seperti itu bisa dikategorikan sebagai gangguan psikologis. "Ya, termasuk. Karena apa yang mereka lakukan berlebihan dan merugikan orang lain," kata Ihsana.
Rasa cinta yang dalam terhadap idola bak benih-benih yang tumbuh subur di dalam diri seorang penggemar fanatik.
Benih-benih yang tumbuh subur itu ujung-ujungnya memicu peningkatan agresivitas seseorang. Tak jarang sikap agresif ini keluar tanpa kendali. "Bahkan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain, seperti unsur kemanusiaan," kata dia.
Namun, bukan berarti peristiwa ini melulu berakar dari fanatisme. Lebih jauh, Ihsana melihat adanya kegagalan pendidikan yang diterapkan di lingkungan terdekat masing-masing pelaku, seperti keluarga.
"Mungkin dari lingkungan keluarganya, dia tak terbiasa mengendalikan perasaan dan mengontrol emosi. Akibatnya, semua jadi tak terkendali," jelas Ihsana.
Tak Lagi Bicara soal Identitas PribadiSeorang penggemar fanatik biasanya tak berdiri sendiri. Dia bakal berada bersama sekelompok orang yang sama dalam mencintai atau mengidolai sesuatu.
Di dalam kelompok itu, kata Ihsana, terjadi semacam proses transfer pemahaman dan penanaman sikap yang seragam. "Di sana mereka biasanya saling meniru satu sama lain," kata Ihsana.
Hal itu pula yang menjadi salah satu pendorong tindakan masuk akal yang biasa dilakukan penggemar fanatik. Seorang penggemar fanatik tak lagi memandang identitasnya sebagai pribadi, melainkan identitas kelompok seperti Bobotoh.
Saat seseorang melepaskan atribut pribadi dan terlibat dalam kelompok, muncul semangat yang luar biasa sehingga membenarkan perilaku yang salah.
"Dalam kelompok atau kerumunan orang akan jauh lebih emosional. Di sana ada orang merasa anonim atau tidak ada identitas, yang ada hanya identitas kelompok," ujar pengamal sosial, Devie Rahmawati, kepada
CNNIndonesia.com.
"Secara kelompok, mereka berani. Kalau ditanya secara pribadi, belum tentu mereka berani melakukan aksi itu," tambah Devie.
Dalam kasus teranyar ini, Devie melihat anggota suporter telah menganggap keberadaan mereka sebagai keluarga sehingga muncul keinginan dan antusiasme untuk saling melindungi. Jika ada yang menderita, kata Devie, kecintaan pada keluarga itu dapat membuat suporter menjadi tidak irasional.
Selain itu, para suporter juga melihat diri mereka sebagai bagian dari tim atau dalam kata lain sebagai pemain ke-12. Devie beranggapan alasan ini membuat suporter menjadi sangat emosional karena menilai sama pentingnya dengan pemain yang berlaga.
(ptj/asr)