Jakarta, CNN Indonesia --
Berbohong mungkin dianggap lumrah bagi sebagian orang. Berbagai hal membuat seseorang pada akhirnya harus membuat sebuah kebohongan.
Teranyar, aktivis
Ratna Sarumpaet misalnya. Dia berhasil mengelabui masyarakat lewat kebohongan yang dibuatnya. Ratna membuat masyarakat percaya dengan kabar palsu
penganiayaan dirinya melalui bukti foto wajah lebam yang tersebar viral.
Hanya berselang beberapa hari, Ratna lalu membuat pengakuan bahwa lebam di wajahnya disebabkan oleh prosedur
operasi plastik yang dijalaninya, bukan karena penganiayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kali ini, saya pencipta hoaks terbaik ternyata, menghebohkan semua negeri," ujar Ratna saat menyampaikan permohonan maaf dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/10).
"Bohong itu sebuah perbuatan yang salah, dan saya tidak punya jawaban bagaimana mengatasi kebohongan, kecuali mengakui dan memperbaikinya," tambah Ratna.
Buntut dari kabar bohong yang dibuatnya, pihak kepolisian menahan Ratna ketika ingin ke Chile dan menetapkan dia sebagai tersangka dugaan penyebaran berita bohong terkait penganiayaan.
Berbohong tak bisa dianggap enteng. Beberapa orang melakukan kebohongan secara kompulsif (berulang) dan impulsif (tiba-tiba). Perilaku itu jelas tak bisa dianggap biasa. Perilaku itu disebut dengan istilah
pathological lying atau kebohongan patologis.
Namun, bukan berarti kebohongan yang dilakukan Ratna serta merta dikategorikan sebagai
pathological lying. Untuk mengetahuinya, diperlukan adanya informasi lebih menyeluruh soal motivasi yang mendorongnya melakukan kebohongan itu.
"Saya tidak memiliki dasar informasi yang tepat untuk bisa menentukan latar belakang perilaku berbohong tersebut. Namun demikian, beberapa hal yang sudah pasti adalah yang bersangkutan secara sadar berbohong, dan dampaknya memengaruhi skala nasional," ujar psikolog klinis Veronica Adesla kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (5/10).
Pathological lying sendiri merupakan kebohongan yang mengganggu kualitas kehidupan diri si pelaku dan lingkungannya. Kebohongan yang dibuat, kata Veronica, sering kali dirangkai dalam bentuk cerita atau narasi yang bersifat kompleks.
Bisa jadi, motif dari perilaku berbohong itu tak memiliki alasan yang jelas. Dalam kasus
pathological lying, kata Veronica, berbohong sering kali menjadi tujuan tunggal. Orang-orang yang melakukannya mencari kesenangan dan antusias dengan kemungkinan bahwa kebohongannya dapat dibongkar.
 Wajah lebam Ratna Sarumpaet yang tersebar viral. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
"Tujuannya bukan untuk pencapaian materi, dan terkadang tetap dilakukan meski hal tersebut berbahaya untuk dirinya sendiri, bahkan bila harus berujung pada proses hukum," ujar Veronica.
Pendapat yang sama juga diutarakan praktisi psikolog, Elizabeth T Santosa. Dia menyebut bahwa pembohong patologis terbiasa berbohong untuk mendapatkan simpati dari orang lain.
Selain itu, ciri-ciri pembohong patologis meliputi kebiasaan berbicara yang tidak pernah objektif dan tidak pernah berhenti berbohong.
"Banyak dilebihkan atau
lebay," kata Elizabeth saat dihubungi terpisah. Selain itu, mengurangi kenyataan yang ada juga bisa dilakukan oleh
pathological liar.
Pembohong patologis, menurut Elizabeth, juga cenderung merasa paling benar dan cepat merasa terserang jika karakter atau kompetensinya dianggap kurang. Berbohong sering kali dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri.
Ada beberapa kategori
pathological lying seperti pseudologia fantasia (PF), kebiasaan berbohong, berbohong dengan gangguan kendali impuls seperti kleptomania, dan berbohong dengan mengubah identitas diri.
Kategori PF merupakan kategori paling ekstrem karena menggabungkan antara fakta dan fantasi. Mereka adalah orang-orang yang menikmati proses bergulirnya kebohongan yang dibuat. Tak cuma itu, mereka juga merasa antusias jika suatu waktu kebohongannya terbongkar.
(ptj/asr)