Swafoto Berlatar Sisa Tsunami, Hilangnya Sensitivitas Sosial

CNN Indonesia
Kamis, 27 Des 2018 12:08 WIB
Wilayah terdampak tsunami Selat Sunda dijadikan latar swafoto. Hal ini menjadi tanda hilangnya sensitivitas sosial masyarakat.
Ilustrasi swafoto (REUTERS/Mohammed Salem)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh panggang dari api, wilayah terdampak tsunami Selat Sunda justru dijadikan latar swafoto banyak orang yang bertandang. Sejumlah orang beramai-ramai datang dengan alasan memberikan bantuan sosial.

Fenomena itu menjadi sorotan salah satu media asing. The Guardian, misalnya, yang memperlihatkan beberapa orang berswafoto sembari tersenyum dengan latar air yang menggenangi salah satu desa di Banten.

Foto-foto itu kemudian diunggah ke media sosial. Salah satu di antaranya beralasan bahwa kehadiran foto itu di media sosial dimaksudkan untuk menggugah perasaan banyak orang untuk merasakan apa yang dirasakan para penyintas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Fenomena swafoto di wilayah bencana sebenarnya bukan barang baru. Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyebut bahwa fenomena ini muncul akibat perkembangan teknologi yang mengubah sensitivitas sosial masyarakat.

"Teknologi digital mendorong perubahan perilaku masyarakat. Perubahan dalam hal sensitivitas sosial mereka," ujar Devie kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/12).

Secara tidak langsung, perubahan sensitivitas ini membuat motif seseorang mengunjungi lokasi bencana alam ikut berubah. Bukan sekadar memberikan bantuan dan menunjukkan simpati, tapi juga juga memiliki 'motif digital'. Untuk nama yang terakhir ini, Devie mengasosiasikannya dengan keinginan seseorang untuk eksis di media sosial, mendapatkan jempol atau likes, dan komentar.

"Mereka ke sana tidak semata-mata hanya memberikan bantuan sosial, tapi ada keinginan untuk insentif digital yang membuat dokumentasi mereka mendapatkan apresiasi," tutur Devie yang merupakan Ketua Program Studi Komunikasi Vokasi UI ini.


Aksi swafoto di tempat bencana ini, kata Devie, menjadi salah ketika orang-orang tersebut melupakan nilai-nilai kemanusiaan.
Seyogianya, kunjungan itu membuat mereka tak lupa melakukan interaksi sosial dengan para korban yang membutuhkan uluran tangan. Toh, dukungan bukan cuma perkara materi, tapi juga moral. Sebaliknya, menjadikan suasana dan para penyintas sebagai objek justru hanya bakal melukai hati para korban.

"Ini menjadi catatan bagi banyak pihak, jangan sampai mengeksploitasi bencana alam untuk kepuasan diri Anda. Untuk like, atau bahkan mendapatkan keuntungan ekonomi. Itu melukai kemanusiaan," tegas Devie.

Bukan kasus baru

Fenomena swafoto yang terjadi di wilayah terdampak tsunami Selat Sunda ini bukan hal baru. Fenomena ini sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir di berbagai belahan dunia, bukan hanya di Indonesia.

"Di luar negeri yang disebut lebih cerdas juga sama. Jadi bukan di Indonesia saja, tapi sifatnya global," kata Devie.

Bak patologi atau penyakit global, Devie menyamakan fenomena ini dengan proses penyebaran hoaks yang sangat cepat.

Gejala sosial serupa ini, kata Devie, kerap terjadi dalam kehidupan manusia di abad digital. Banyak penelitian menunjukkan kepekaan sosial masyarakat berkurang lantaran adanya insentif digital seperti ketenaran dan melupakan esensi kemanusiaan. (ptj/asr)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER